Taman 65, Sebuah Ritus Memori Anak untuk Orang Tua yang Dibunuh Negara – Bagian 1
oleh Made Gula
Satu hari, secara spontanitas dan cenderung tergopoh-gopoh aku bertolak dari Semarang ke arah timur. Sempat transit di beberapa kota di wilayah ini, sebelum akhirnya waktu menandai jalanku menginjak Pulau Dewata. Bali. Hampir satu jam kapal yang membawaku berangkat dari Ketapang, dan akhirnya sandar di Pelabuhan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Perjalanan berlanjut dengan bus yang sudah aku tumpangi dari kota S, bus yang atas bantuan seorang kawan, aku bisa mendapatkan tiketnya. Untuk kawan tersebut, jelaslah penting bagiku berterimakasih padanya, dan kusampaikan di sini sebagai pengingat jasanya yang tulus. Dari Gilimanuk, bus menempuh tidak kurang dari 4 jam untuk sampai di Terminal Badung, terminal pemberhentianku. Turun dari bus, kulihat dalam jarak 50 meter, terdapat minimarket yang telah buka. Di pagi buta seperti ini, aku putuskan untuk rehat, sekadar merokok dan meminum kopi dalam botol kemasan. Akhirnya aku teruskan perjalanan dengan memesan ojek online menuju Kesiman.
Pagi itu, benar-benar pagi yang walaupun berembun suasana cepat sekali menghangat. Keluarga Agung Alit menyambut erat kedatanganku, yang mendadak itu. Kami saling berkenalan, dan tidak sampai menghabiskan waktu satu jam kami sudah saling akrab, sebab jaringan perkawanan kami yang ternyata saling terhubung. Maaf, aku lupa menyampaikan pada awal tulisan ini, kedatanganku yang spontan dan tergopoh-gopoh itu juga dibantu oleh kawan-kawan yang sudah lebih lama dan lebih akrab dengan keluarga Taman 65. Begitulah cara kerja solidaritas kami dalam dunia aktivisme, mula-mula bertemu dari satu forum diskusi atau konsolidasi atau advokasi dan atau momen apapun, yang lantas menyebabkan kami saling berkorespondensi pada akhirnya.
Kembali pada suasana pagi yang hangat itu, Agung Alit membuatkan kopi dengan takaran manis yang sangat tepat. “Ya ini rumah saya, Taman 65 berjarak 600 meter dari rumah ini, dan Taman Baca Kesiman enam menit jaraknya dengan perjalanan menggunakan sepeda motor.” Agung Alit menjelaskan. Setelah beberapa jam kami beramah tamah, aku mengambil waktu untuk intirahat dan melunasi jam tidur yang terganggu selama diperjalanan.
Tubuh merasa sudah cukup mendapatkan tenaganya kembali dari beberapa jam tidur selepas ramah tamah pagi tadi. Waktu menuju sore, dan aku mengambil tindakan untuk membersihkan diri menggenapkan kesegaran badan. Aku belum memiliki rencana apapun dalam persinggahan ini, selain barangkali membaca ulang tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer versi terbaru, versi Seabad Pram dengan cover berwarna biru laut itu yang sengaja aku bawa dari Semarang. Selebihnya, mungkin dengan melamun, waktu akan aku hambur-hamburkan. Selepas mandi, aku duduk dan berdiam diri pada salah satu bagian dalam rumah ini, lebih tepatnya di halaman belakang yang terbuka dan banyak tanaman. Tidak ada orang di rumah, semua beraktifitas, pikirku. Tepat setelah pikiran ini melintas, Agung Alit kembali muncul entah dari bepergian kemana. Disebelahku dia menyusul duduk, dan disini dia mulai bercerita hal ihwal Taman 65.
Ada dua pura untuk ibadah, tiga pohon kamboja besar yang setiap hari menjatuhkan bunga indah nan harum. Rumput dan pagar tembok yang ditutupi tanaman bermacam-macam yang tidak aku kenali. “Bapaku dibunuh pada peristiwa 1965 sebab dia dituduh PKI” hatiku langsung berdebar, emosi marah dan haru, seperti ketika mendengar banyak cerita penyintas yang pernah aku jumpai di Jawa. Aku berusaha supaya tidak merespon itu dengan gestur yang mencolok, supaya Agung Alit tetap nyaman bercerita. “Taman 65 itu saya bikin untuk mengenangnya, sebagai anak kepada orang tuanya.” Hatiku yang belum reda berdebar dari kalimat pertama dimulai, sudah tambah tiga kali lipat debarnya aku rasa.
Orang tua Agung Alit berprofesi sebagai guru. Menurut ibunya, bapaknya dieksekusi pada 25 Desember 1965. Versi lain dari pamannya mengatakan bahwa eksekusi itu terjadi pada 19 Desember, di tahun yang sama; tahun paceklik. Tentu tanpa pengadilan, juga sebab yang sama sekali tidak diketahui Agung Alit dan keluarga. Diduga, setelah dieksekusi jasadnya dikuburkan bersama korban lainnya di lokasi yang sekarang berdiri di atas kuburan massal di Pasar Tembawu. “Saya mulai pengenangan itu pada 2005, saya tulis angka 65 beberapa jumlah dilantai. Ibu bertanya, kenapa kamu tulis angka 65 ini, bikin ibu takut. Untuk mengenang bapak, bu, jawab saya. Dan saya buat lebih besar dengan bentuk persegi bertulis Taman 65 di tengah tanah yang saya lapangkan, di atas tanah bekas kamar bapak. Kamar dan rumah yang dihancurkan pada 1965”. Tidak kuasa aku bercepat-cepat menimpali dan menyambung cerita, hatiku berlipat-lipat berdebar, menyumpahi Soeharto dan kaki tangannya. Ditambah dengan kenyataan kalau Soeharto sedang diusung menjadi Pahlawan Nasional.
Tidak berhenti di situ, kemarahanku kian menjadi ketika harus mengetahui kenyataan bahwa Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan, politisi dari Partai Gerindra, di bawah kekuasaan Presiden Prabowo Soebianto yang Ketua Umum Gerindra sekaligus mantan menantu Soeharto, sedang menyusun sejarah “resmi” Indonesia yang didalamnya diduga oleh banyak pegiat hak asasi manusia akan menghapuskan sejarah pelanggaran hak asasi manusia berat yang pernah terjadi di Indonesia, termasuk kejahatan kemanusian 1965. Juga dugaan penghapusan sejarah penculikan aktivis hingga sejarah pemerkosaan terhadap perempuan pada 1998 yang didalamnya Prabowo Subianto terbukti terlibat menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Apakah ada hal lain yang bisa aku lakukan, selain mengumpat dan menyumpahinya atas nama apapun?
Sore itu menjadi sore yang sangat emosional bagiku sejak singgah di rumah ini. Hari-hari berikutnya menjadi hari yang tidak kalah menarik, dimana setiap hari pada waktu sore dan malam kami berdiskusi soal-soal politik terbaru. Seperti viralnya aktivis lingkungan Greenpeace yang dipaksa keluar forum ketika berteriak-teriak “Save Raja Ampat”. Seruan tersebut sebagai respon atas kondisi lingkungan Raja Ampat yang terancam eksploitasi tambang nikel. Aksi ini menyita perhatian publik dunia maya.
Kami juga berdiskusi terkait event seabad Walter Spies, orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas eksotisasi pariwisata Bali. Dalam proyek film dokumenter yang berjudul Roots, Agung Alit menjabarkan bagaimana konteks Bali cum kapitalisme pariwisata yang ditumbuhkan di atas hampir 80 ribu mayat korban pembantaian 1965. Momen-momen diskusi politik ini biasanya diawali oleh Agung Alit dengan mulai mencopot kacamatanya, menaruh ponsel, serta gestur tubuh yang bergerak mengarah padaku saat aku sendiri biasanya tengah membaca buku atau sekadar melamun dihadapannya. Pernah ia membuka percakapan dengan “Aih! Berengseknya negara kita, Made”.
Agung Alit memang seorang yang cukup terliterasi, sehingga ia akan dengan mudah mengomentari beberapa hal yang sedang terjadi. Ia memiliki perpustakaan sebagai modal informasi. Tidak terhitung jumlah total buku yang telah ia enyam. Buku-buku itu ada di rumahnya, di Taman Baca Kesiman, juga di Taman 65. Taman Baca Kesiman diatur sedemikian rupa hingga buku-buku itu berjejer mewujud perpustakaan inklusif dengan ribuan judul. Di Taman 65 jumlahnya lebih sedikit, dengan kurasi yang terbatas pada tema-tema seputar 1965. Sedangkan di rumahnya, buku-buku dijejer pada tiga rak besar di kamar tamu, kamar yang dipinjamkan untukku.
Pada rak buku di dalam kamar tamu ini, koleksinya beragam tema, mulai sejarah, sastra, agama, filsafat, ekonomi, sosial, politik, hingga kebudayaan dan bahkan resep makanan. Cukup mengesankan. Kekaguman bertambah ketika mengatahui beberapa judul buku ada pada deretan itu. Mulai dari Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 dan 2, pidato Mohammad Hatta Peranan Pemuda: Menuju Indonesia Merdeka Indonesia Adil dan Makmur, About LENIN terbitan Progress Publishers Moscow, Di Tepi Kali Bekasi karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Jajasan Kebudajaan Sadar tahun 1962, sampai Laporan Kebudajaan Rakjat Dokumen Kongres Nasional Pertama Lekra di Solo Januari 1959. Tentu masih banyak lagi buku-buku gila lainnya. Melihat perpustakaan dengan koleksi seperti ini, sepatutnya kita berdoa semoga situasi “geger” 1965 tidak terulang lagi, situasi yang menyebabkan penghancuran perpustakaan, perampasan dan pembakaran buku sekaligus pemenjaraan hingga pembunuhan kepada pemilik maupun pembacanya. Kejahatan kemanusiaan 1965 itu dilakukan oleh tentara atas nama ketertiban nasional, yang omong kosong itu.
Masih dalam suasana perbukuan, siang sekitar pukul14.00 aku bergerak menuju Graha Yowana Suci di Jalan Hasanuddin, sebuah pasar modern yang di dalamnya banyak terdapat tenan perbelanjaan. Mulai dari kuliner hingga aksesoris, serta persewaan PS (Playstation). Juga toko buku alternatif bernama Partikular pada satu bagian di lantai 2 pasar tersebut, dimana menaruh tujuan. Ketika aku sampai, dari luar terlihat beberapa pengunjung. Ruangan Partikular seperti telanjang bulat, bagian depannya disekat menggunakan kaca bening. Hanya bagian samping yang menggunakan rolling door yang dibuka total ketika sedang beroprasi.
Pada sepetak ruang kaca itu aku masuk dan menenggelamkan diri pada buku-buku yang dengan santai aku baca judul per judul yang terpajang pada rak-rak. Partikular, secara kuratorial cenderung terasa sangat personal dalam pemilihan buku-buku yang dijualnya. Asumsiku kemudian dibenarkan oleh Juli, salah satu pendiri Partikular, penjaga, sekaligus juga seorang penulis. Buku-buku yang tersedia seperti membawa perasaan yang sama ketika aku menatap koleksi buku Agung Alit. Ya betul, kurasinya bernuasa progresif kiri. Perasaan ini yang juga membuatku mudah menyatu dengan Partikular.
Tuntas aku pindai toko buku tersebut, tak terasa 4 buku sudah dalam genggaman yang meminta segera untuk dibayar. Keempatnya adalah Pacar Merah jilid 1 dan 2, Perhimpunan Indonesia, dan Perang Bahasa karya Hilmar Farid. Kontan aku bayar! Namun mata dengan bernafsu menaruh minat pada merchandise totebag yang juga terpanjang. Dengan cepat aku tanyakan stok. “Sebentar saya cek dulu ya” dijawab Juli. Tidak lama kemudian ia muncul dari belakang rak buku, “Syukur masih ada satu” sergahnya. Ini juga kontan aku bayar. Setelah proses pembayaran selesai, aku sempatkan untuk mengobrol Juli terkait beberapa hal.
Juli bercerita soal studi sarjananya di Universitas Udayana, ialah jurusan Sastra. Lalu ia menlanjutkan cerita dengan menunjukan buku dengan judul Menuai Badai, buah tangan yang baru saja diterbitkan Gramedia. “Isi ceritanya soal 65, cerita soal tameng (jagal) yang diteror penyesalan dalam sisa hidupnya karena sudah melakukan pembunuhan dan memperpanjang baris nama korban 1965” timpalnya. Amboiiiiii 1965 dimana-mana, batinku. “Disini ada Taman 65” imbuhnya. “Iya, aku juga dari tempat Agung Alit” balasku. Obrolan menjadi lebih cair dan kami merasa seolah-olah seperti pernah kenal sebelumnya. Kami cepat menjadi lebih akrab ketahu tahu saling tertaut dalam pergaulan. Pertemuan kami tidak begitu lama, aku sadar Juli harus memindahkan tenaganya untuk pengunjung lain yang baru tiba silih berganti. Dalam sirkulasi pengunjung yang terus menerus, aku minta diri untuk meninggalkan Partikular.
Sepanjang jalan pulang dari Graha Yowana Suci, di kiri dan kana aku melihat banyak pura. Juga pohon Kamboja yang bunganya mentereng sepanjang hari. Patung-patung bermacam banyaknya dewa yang tidak aku kenali, dipasang di depan beberapa rumah. Menjelang maghrib, perjalanan aku arahkan menuju Kesiman; pulang. Tidak ada yang perlu diceritakan setelahnya.
(bersambung…)
adminbersemai
Leave a Reply