bersemai.org

Taman 65, Sebuah Ritus Memori Anak untuk Orang Tua yang Dibunuh Negara

– Bagian 2

oleh Made Gula

Pada sore esok harinya, Agung Alit mengajaku itu mengikutinya, “Made, ayo ikut ke Taman 65, mau sapu dan siram tanaman”. Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk setuju. Ini akan menjadi kunjungan pertamaku ke tempat subversif itu, pikirku. Kami menaiki sepeda motor, berboncengan dengan Agung Alit ambil tindak di kemudi depan. Jalanan ramai, persis seperti keluhan warga Bali yang mulai gelisah mendapati macet sepanjang jalan, sepanjang hari. Aku tidak tahu apa penyebab kemacetan ini, dugaan terdekat yang ada di kepala barangkali karena Bali adalah provinsi dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Industri pariwisata yang menggiurkan menggerakan masyarakat di luar Bali untuk datang ke Bali, entah mengadu nasib untuk menjadi buruh pariwisata atau buruh apapun, menjadi pelaku bisnis itu sendiri, atau sekadar plesir berlibur memanggangkan sekujur badan dengan dua pertiga telanjang dipantai saat long weekend.

Ketika dugaan-dugaan lain sedang melayang-layang mengambil konsentrasiku, kami telah tiba di Taman 65. Suasananya tenang, namun masih terdengar pengendara lalu lalang. Maklum, ada jalan besar persis di luar komplek banjar keluarga ini. Situs memorialisasi ada di bagian paling mencolok dari komplek ini. Bekas rumah, atau persisnya bekas kamar dilapangkan dan ditandai dengan tulisan “Taman 65” pada lantai, lengkap dengan satu kalimat berbunyi “FORGIVE BUT NEVER FORGET” pada dinding. Ada juga patung dari batu hasil olah I Gusti Made Raka B.A. dengan bentuk wajah dari orang tua Agung Alit yang menjadi korban pembantaian 1965 di Bali itu.

Aku banyak membuang waktu dengan melamun, memandangi dua pohon Kamboja yang pada masing-masingnya tertempel anggrek yang sedang mekar bunganya berwarna ungu. Nampak sedang bermain dua anak perempuan di tengah taman bersama dua ekor anjing kecil. Kami berdua, aku dan Agung alit, termangu-mangu dengan dua gelas kopi yang dinikmati pelan-pelan mengiringi suasana penantian panjang yang belum juga terang kapan keadilan menikahi orang tuanya dan mengasuhnya.

Tetapi sebelum cerita-cerita soal Taman 65 ini diteruskan, tidak berlebihan rasanya, kalau aku mengajak kita hendaknya mensyukuri kerja-kerja kita semua dalam melawan penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru atas kejahatann kemanusian 1965. Kita sudah giat bekerja melawan narasi negara dengan apapun caranya secara tekun. Sudah begitu banyak buku ditulis untuk membongkar kejahatan Orde Baru yang. Kerja-kerja kita dalam menolak lupa telah secara langsung berhadap-hadapan dengan buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV produksi rezim militeristik yang beredar menjadi bahan ajar semasa itu. Film-film seperti Jagal dan Senyap garapan Joshua Oppenheimer, Lagu Untuk Anakku karya Salahuddin Siregar, hingga Eksil karya Lola Amaria, dan masih banyak lagi, telah berusaha memberikan narasi sanggahan dari film Pengkhianatan G30S PKI yang pernah menjadi tontonan wajib.

Senada dengan “pertarungan-pertempuarn” di atas, kita juga secara giat serta tabah melawan Museum Pengkhianatan G30S PKI di Lubang Buaya dengan menghadirkan begitu banyak memorialisasi kuburan massal 1965 dan lokasi bekas kamp penahanan para tahanan politik. Situs-situs memori yang bersifat lebih personal seperti Taman 65, tidak luput menjadi bagian kerja-kerja melawan amnesia massal yang disponsori oleh negara. Ada hal yang harus selalu perlu diingat, bahwa kita sedang dan telah melakukan semua ini dengan tenaga kita sendiri, dan kita sama sekali tidak perlu merasa mengalami kekalahan atasnya.

Juga atas semua kekuatan yang kita miliki untuk menghadapi proyek Fadli Zon penulisan sejarah “resmi” versi negara, kita tidak lebih hanya akan menghadapi buku “linglung” yang tidak akan berdaya menghadapi bejibun fakta sejarah yang berangsur-angsur telah terungkap. Sore hari di Taman 65 itu habis, setelah hari mulai gelap dan Agung Alit purna niatnya menyapu dan menyiram tanaman.

Taman 65 memang sudah begitu maklum dikenali, bahkan diakrabi banyak orang sebab semangat dan cerita yang melekat dan menjadi bagiannya. Tempat yang sudah terlampau sering dikunjungi berbagai kalangan aktivis dan seniman itu membuatnya diperbincangkan mulut ke mulut sejak berdiri 2005 hingga sekarang ini, 2025. Genap 20 tahun usianya. Taman ini bukan lagi hanya milik Agung Alit dan keluarga. Taman ini sudah terlanjur menjadi milik semua orang yang sedang memperjuangkan keadilan, pikirku. Taman ini menjadi aset pengetahuan kolektif, menjadi salah satu sumber informasi akurat yang kita butuhkan di tengah-tengah proses pelupaan yang dilakukan oleh negara.

Bali sebagai salah satu wilayah yang masuk dalam kategori paling banyak mendapatkan perhatian publik sebab pariwisata yang nomer wahid, mendapat banyak kunjungan dari pelancong dari dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi ini yang juga membuat Taman 65 mendapat perhatian tersendiri dan mendapat pengunjung kemudian juga bersimpati pada kerja-kerja Taman 65, sebuah situs kemanusiaan di tengah-tengah hegemoni pariwisata eksotis. Maka tidak mengherankan jika Taman 65 bisa menjadi salah satu wisata sejarah atau sarana edukasi untuk pelajar asing yang mendapat summer program di Bali. Inisiatif dan praktik ini barangkali menjadi salah satu contoh dan bentuk bagaimana Taman 65 bertumbuh dan membangun jejaringnya.

Kami sudah di rumah selepas dari Taman 65, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk berbaring dan meneruskan membaca buku pada halaman yang aku jeda. Beberapa menit membaca, pikiran masih terbang-terbang pada suasana sore tadi yang belum bisa aku taruh. Lalu, tiba-tiba pikiran melompat pada kenangan berdiskusi bersama Soe Tjan Marching. Pada diskusi yang dihelat oleh Bumi Manusia Project dengan pokok pembahasan “Pram dalam Cengkeraman Militer” itu, Soe Tjan Marching menyampaikan bagaimana gambaran situasi negara era kepemimpinan Soekarno yang sedang berusaha lepas dari pengaruh kolonialisme pasca Revolusi 1945 yang kemudian berputar arah 180 derajat ketika Soeharto berkuasa. Soeharto dengan rezim militernya melakukan pembantaian massal terhadap orang-orang dan kelompok yang dianggap kiri progresif revolusioner. Juga melakukan sensor bahkan penghilangan ide pikiran-pikiran kerakyatan. Begitu kiranya kurang lebih ingatanku.

Memang, negara yang menerapkan otoritarian berupaya dengan cara apapun untuk memusatkan kekuatan guna melakukan kontrol terhadap pikiran rakyat. Dengan modal kekuatan tersebut negara memaksa rakyat mengkonsumsi narasi tunggal dari kekuasaan. Pada kondisi inilah, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Semua upaya pengungkapan dan pelurusan sejarah itulah penantang dari absoluditas, otoritarian Orde Baru dan mungkin juga orde-orde setelahnya, rezim hari ini, atau bahkan rezim di masa yang akan datang.

“Sejarah milik rakyat! Rakyat berhak menuliskan sejarahnya sendiri!” Begitu kira-kira suara yang sering diulang-ulang dalam forum-forum yang “melawan lupa”. Anggapan terbalik datang dari Fadli Zon secara serampangan dalam wawancara dengan Uni Lubis, ia mengulang-ulang statemennya bahwa sejarah harus ditulis oleh sejarawan, bukan aktivis. Dengan beranggapan seperti itu, jelas bahwa dia nampak tidak mampu sama sekali untuk meletakan demarkasi proses teknis dalam penulisan sejarah melalui penyerapan arsip-arsip dokumentasi aktivis pegiat hak asasi manusia yang kerja-kerja pengarsipan sebanding dengan kerja-kerja sejarawan itu sendiri. Pikiran-pikiran yang bertebaran beberapa waktu selanjutnya dengan sendirinya tiba-tiba diam, aku tertidur. 

Aku terbangun keesokan harinya. Melihat Bobo, Juno, Flur, dan Kunyit (anjing peliharaan Agung Alit) sudah saling kejar bermain, dan itulah rutinitas mereka saban hari. Dua kali sudah kejar-kejaran dan gigit-gigitan itu berakhir pertarungan serius antara Bobo versus Juno, dan dari dua kali pertarungan itu selalu Bobo yang mendapat luka. Juno menang bobot, dan agaknya ada sedikit darah pitbull dalam tubuhnya, berbeda dengan Bobo yang sepertinya anjing kacang belaka. Mungkin benar, juga mungkin salah anggapan tentang anjing itu, karena sebetulnya aku tidak betul-betul mengerti soal anjing.

Di Bali, rasanya populasi anjing sama banyaknga seperti populasi kucing di Jawa, pun sebaliknya. Anjing bisa berkeliaran sepanjang jalan, bahkan beberapa tidak bertuan. Bobo dan Juno juga datang dengan sendiri ke rumah Agung Alit. Bobo pertama-tama masuk lewat bawah pagar, ketika itu tubuhnya masih kecil dan muat untuk melewati celah yang lebarnya tidak sampai satu jengkal. Bobo masuk pekarangan rumah dengan kondisi terluka, Agung Alit memutuskan untuk merawatnya, dan tanpa diduga Juno juga menyusul dengan cara yang hampir serupa. Tumbuh besar mereka di rumah ini.

Menceritakan kisah Bobo dan Juno yang malang nasibnya pertama itu, mengigatkanku pada puisi Widji Thukul yang berjudul Kucing, Ikan Asin, dan Aku. Puisi bercerita tentang Widji yang timbul perasaan iba, setelah marah melihat ikan asin lauk makan siangnya digondol kucing. Niatnya membunuh kucing yang kurus kelaparan itu mendadak berubah, dan mereka berakhir dengan makan bersama. Ia menyerahkan kepala ikan asin untuk kucing kurus kelaparan sehingga ia batal mati. Makan bersama-sama: kucing hidup, Widji pun tidak kelaparan. Bobo dan kucing kurus kelaparan adalah cerita binatang terlantar yang beruntung mendapatkan penghidupannya, dan kita tetap papa dihadapan kekuasaan yang lalimnya luar biasa.

(bersambung…)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *