bersemai.org

Impresi Pertama dan Janji yang Tak Pernah Datang

oleh Sry Wahyuni

Kemarin, di sebuah kamp pengungsian, seorang anak perempuan kecil dengan polosnya menyodorkan sepotong kue dengan niat untuk membagikannya untuk saya. Gesturnya itu sederhana, terasa menampar. Mengingatkan saya kembali bagaimana pertama kali mengenal masyarakat eks Timor Timur. Bukan lewat buku atau berita, melainkan melalui seorang anak muda cerdas yang juga adalah generasi kedua pengungsi eks Timor Timur di Kupang. Mereka adalah yang meninggalkan rumah akibat konflik, kekerasan politik, dan situasi yang tidak aman.

Konflik di Timor Timur bermula pada tahun 1975, ketika wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari koloni Portugis ini mengalami kekosongan kekuasaan pasca Revolusi Anyelir di Portugal. Dalam kekosongan itu dan di tengah situasi genting, muncul berbagai faksi politik, salah satunya ialah Fretelin (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) yang memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 28 November 1975. Namun, hanya sembilan hari kemudian, pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan operasi militer dan mengintegrasikan wilayah Timor Timur sebagai provinsi ke-27.

Integrasi ini tidak datang dengan damai. Pada masa ini, puluhan tahun diwarnai oleh perlawanan bersenjata, operasi militer, dan pelanggaran HAM berat yang melahirkan generaasi yang tumbuh di tengah ketakutan dan rasa tidak aman. Kekerasan, kelaparan, dan represi politik membuat puluhan ribu orang meninggalkan tanah kelahirannya. Gelombang pengungsian terbesar terjadi pada tahun 1999, saat referendum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian memutuskan Timor Timur merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Timor Leste. Keputusan itupun memicu aksi kekerasan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak rumah dibakar, desa-desa dibumihanguskan, dan ratusan ribu orang dipaksa melarikan diri. Sekitar 250.000 orang mengungsi ke Timor Barat.

Pengungsi Timor Timur bukanlah sekadar “tamu sementara” di negeri ini. Mereka adalah warga yang sebagian pro-integrasi dengan Indonesia, dan sebagian lagi merupakan korban yang terjebak di tengah kekacauan dan hanyut oleh arus kekerasan tanpa pernah memilih. Di kamp-kamp pengungsian di beberapa wilayah Indonesia, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur termasuk di Kabupaten Kupang, mereka menunggu janji pemerintah Indonesia akan rumah permanen, tanah, dan hak hidup yang layak. Akan tetapi, lebih dari dua dekade berlalu, janji-janji tersebut belum terpenuhi hingga hari ini. Janji-janji tersebut lebih sering terdengar di podium pidato dari pada bukti nyata yang terlihat di tanah kamp pengungsian, yang membuat generasi demi generasi hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian.

Anak muda cerdas di kamp pengungsian yang saya kenal itu, suatu ketika mengajak saya mengunjungi tempat tinggalnya. Terus terang, saya merasa ragu untuk mengunjungi kamp pengungsian. Di benak saya, terlintas bayangan yang selama ini telah terwariskan dari cerita orang-orang bahwa mereka adalah “pembuat rusuh,” dan gambaran yang telah cukup tertanam.

Ketika hari itu tiba, rasa tidak nyaman akhirnya langsung menyergap. Lokasi pengungsian begitu buruk. Tanah becek, udara pengap, rumah-rumah reyot yang terlihat lebih mirip dengan bangunan darurat. Orang-orang berkulit gelap dengan wajah lelah, sebagian tanpa alas kaki, anak-anak berlarian tanpa pakaian. Saya berdiri kaku, tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah pertemuan pertama saya dengan mereka secara lebih nyatanya, tidak melalui gosip yang pernah terdengar. Apakah ini yang disebut “pengungsi” oleh pemerintah? Tidak. Ini adalah warga negara yang diusir dari hak-haknya.

Terlebih, pada kunjungan kedua membawa kesan yang berbeda yang mengubah segalanya. Saya disambut hangat oleh seorang perempuan tua berambut uban. Senyumnya ramah, matanya teduh penuh kisah. Kami duduk bercerita. Ia kisahkan perjalanan hidupnya dan suaminya yang  pernah menjadi pejuang Timor. Dengan segala keterbatasan, ia meminta anaknya menyuguhkan kopi. Belakangan saya tahu, demi menghormati tamu, mereka mendapatkan kopi itu dari berhutang di kios. Saat itu juga, pikiran buruk tentang “pembuat onar” yang sempat muncul di kepala langsung terbantah dengan sendirinya.

Hari-hari berikutnya, saya semakin sering datang lagi, dan lagi. Saya duduk bersama mereka, mendengar cerita tentang kehilangan, perjuangan, harapan, dan bertahan hidup. Mendengar kisah mereka yang bertahun-tahun bertahan hidup dalam keterbatasan sambil memegang janji pemerintah, janji yang tinggal kata yang hingga kini tak pernah ditepati. Dari mereka saya belajar apa itu hak asasi yang sebenarnya, bukan teori di atas lembaran kertas konstitusi, melainkan hak untuk hidup layak dan bermartabat. Namun, hak itu justru dirampas oleh negara yang mengaku menjaminnya. Saya juga belajar arti kasih yang tulus di tengah kekurangan, arti perjuangan yang sebenarnya, perjuangan yang tak berhenti, dan martabat yang dijaga meski terus diabaikan.

Seiring berjalannya waktu dan di tengah keterbatasan dan jani-janji yang tidak pernah ditepati, sekelompok anak muda eks Timor Timur memilih untuk tidak diam dan menolak menjadi korban pasif. Mereka dan berupaya berdiri di atas kaki sendiri dengan menginisiasi sebuah komunitas bernama Uma da Paz atau dalam Tetun berarti Rumah Perdamaian. Mereka berkumpul, berdiskusi, dan belajar di ruang-ruang sederhana. Tidak hanya sekadar membaca buku, tetapi mereka memahami hak asasi manusia dan politik kritis. Dan bagi mereka, pengetahuan bukan hanya untuk memahami dunia, tapi untuk berusaha mengubahnya. Dengan kesadaran penuh jika tetap menunggu pemerintah, berarti menunggu dalam ketidakpastian. Oleh karena itu mereka membangun kebun kolektif, usaha mandiri, dan ruang-ruang diskusi yang menumbuhkan kesadaran.

Ket. Uma da Paz, komunitas orang muda kamp pengungsian | Dokumentasi penulis.
Melalui komunitas Uma da Paz, mereka mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk membongkar ketidakadilan dan membangun masa depan yang lebih baik. Di ruang-ruang belajar yang sederhana, suara mereka tumbuh. Dari ragu menjadi berani, dari diam menjadi lantang. Mereka tahu bahwa jalan menuju perubahan itu panjang, penuh tanjakan dan terjal. Akan tetapi jika selama ada generasi yang mau berpikir kritis, bersolidaritas, dan bergerak, tidak ada suara yang akan terus terabaikan dan tidak ada suara yang akan selamanya dibungkam.

Namun ada satu hal yang tak bisa saya abaikan dari pertemuan ini yang menjelma suatu pertanyaan, bagaimana mungkin, setelah hampir seperempat abad, negara ini membiarkan puluhan ribu warganya hidup dalam kondisi yang bahkan tak layak disebut “layak huni”? Bagaimana mungkin, di republik yang mengaku demokratis, ada warga negara yang haknya ditunda hingga lintas generasi? Pemerintah boleh beretorika tentang pembangunan dan kesejahteraan, membanggakan angka pertumbuhan ekonomi atau meresmikan gedung pencakar langit. Akan tetapi, di kamp-kamp pengungsian ini, yang nyata tumbuh subur hanyalah pengabaian.

Suara dari kamp-kamp pengungsian sering diabaikan. Mereka yang katanya bagian dari “kita” dipaksa untuk membangun hidup dari sisa-sia, sementara negara sibuk membangun citra di luar negeri. Mereka juga terus belajar bahwa perubahan dimulai dari kesadaran, kesadaran melahirkan keberanian, dan keberanian akan menuntut pertanggungjawaban. Dan mereka akan terus menuntut sampai janji yang diucapkan itu ditepati.

Hari ini saya paham bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial hanyalah rangkaian kata indah tanpa jiwa. Hak asasi manusia kehilangan makna ketika negara memilih menutup mata pada rakyatnya sendiri. Di kamp pengungsian ini, saya menyaksikan bukti nyata dari pengabaian yang telah berlangsung terlalu lama, pengabaian yang tak akan pernah terbaca dari ruang-ruang parlemen, namun punya alamat jelas. Alamat yang setiap hari dilewati, tapi terus diabaikan oleh negara yang berutang janji.

A luta continua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *