Negara dan Hasrat Mengatur Ingatan
oleh Alvin Hidayat
Hal yang paling rumit dari menjadi bangsa bukanlah membangun gedung-gedung tinggi atau menata sistem administrasi yang rapi, tetapi adalah merawat ingatan, karena ingatan seperti manusia itu sendiri; pelik dan tidak pernah netral. Ia memilik kemampuan untuk memilih, memilah, menghapus, atau menebalkan. Dan di sanalah kekuasaan bekerja dengan cara paling sunyi; mengatur apa yang boleh dikenang dan apa yang mesti dilupakan.
Hari ini, negara kembali sibuk dengan sejarah. Di bawah bendera “penulisan ulang sejarah nasional”, negara hendak menyusun kembali narasi besar tentang siapa kita sebagai bangsa. Sebuah ikhtiar yang, sekilas, tampak mulia. Tapi seperti dikatakan Michel de Certeau, “sejarah selalu ditulis oleh yang menang,” dan justru karena itulah, kita patut curiga.
Negara ingin menata kembali memori kolektif. Ia ingin menulis ulang, tetapi seringkali bukan untuk menyembuhkan luka, melainkan menata ulang kebanggaan. Ia mengklaim hendak memperkaya narasi sejarah, tetapi siapa yang menentukan apa yang kaya dan apa yang layak disebut sejarah? Bukankah sejak mula, sejarah kita lahir dari hasrat mengatur?
Hasrat negara menata sejarah tak lain adalah hasrat mengatur jiwa warganya. Dalam setiap baris sejarah yang ditulis, ada kepentingan yang diam-diam bekerja. Foucault pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah produk dari relasi kuasa. Maka sejarah, yang diklaim sebagai narasi kebenaran, sesungguhnya adalah medan di mana kuasa dan ingatan saling berkelindan.
Pertanyaannya: sejarah siapa yang hendak ditulis ulang? Siapa yang menentukan versi sejarah yang “benar”? Siapa yang diundang duduk di meja penulis, dan siapa yang hanya cukup menjadi catatan kaki?
Sejarah Indonesia terlalu lama digubah sebagai orkestra kekuasaan. Dari zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, sejarah tak pernah benar-benar dibebaskan. Ia dibentuk bukan untuk mencerahkan, melainkan untuk menertibkan. Kita diajari menghafal nama-nama besar, tapi lupa siapa yang mereka tindas. Kita dipaksa bangga, tetapi dilarang bersedih. Bahkan ketika luka masih menganga, sejarah resmi menutupnya dengan selimut narasi besar: nasionalisme yang disterilkan dari konflik, dan patriotisme yang tak pernah diberi ruang untuk dipertanyakan.
Inilah yang oleh Lyotard disebut sebagai “narasi besar,” grand narrative yang menekan kemungkinan akan pluralitas sejarah. Sejarah nasional bukan hanya satu versi, melainkan satu-satunya versi yang boleh hidup. Padahal, sejarah yang sehat adalah sejarah yang bersuara jamak. Ia tidak menghapus, tetapi menampung. Ia tidak hanya bicara soal pahlawan, tetapi juga tentang korban. Ia tidak hanya mengagungkan pertempuran, tetapi juga menyisakan ruang untuk air mata.
Itulah mengapa proyek penulisan ulang sejarah nasional harus dilihat dengan jernih, atau bahkan dengan curiga. Bukan untuk semata-mata menolak, tetapi untuk menakar: adakah ruang bagi mereka yang selama ini dibungkam? Adakah tempat bagi sejarah petani, buruh, perempuan, minoritas, mereka yang tertindas oleh negara? Ataukah kita sedang menyusun versi baru dari sejarah lama yang berpihak?
Karena sejarah, sekali lagi, bukan hanya soal masa lalu. Ia adalah cermin tempat kita membayangkan diri. Ia adalah ruang di mana masa depan sedang dinegosiasikan.
Antonio Gramsci pernah berkata bahwa siapa yang menguasai budaya, menguasai masa depan. Maka sejarah, sebagai jantung dari budaya politik, bukan sekadar narasi, tetapi kuasa itu sendiri. Dan kuasa yang bekerja secara halus, dalam bentuk ingatan, seringkali lebih berbahaya dari pada kekerasan yang gamblang.
Hasrat negara mengatur ingatan adalah gejala laten dari ketakutan akan kritik. Negara takut pada luka, karena luka mengganggu legitimasi. Maka luka itu disembunyikan, atau ditulis ulang sebagai “kesalahan masa lalu” yang sudah dibereskan. Tapi luka yang disembunyikan tak pernah sembuh. Ia justru tumbuh menjadi trauma kolektif. Dan trauma, kata Cathy Caruth, bukan hanya tentang kejadian yang lewat, tapi tentang ketidakhadiran narasi yang mampu menampungnya.
Maka jalan keluar bukanlah menata ulang sejarah dari atas. Jalan keluarnya adalah membongkar ulang memori dari bawah. Memberi ruang pada narasi-narasi minor, membiarkan sejarah ditulis oleh mereka yang pernah dibungkam. Bukan untuk membalas, tetapi untuk menyembuhkan.
Inilah saatnya kita menata sejarah secara partisipatif. Negara bisa memulai, tetapi tidak boleh mendikte. Kurikulum sejarah harus membuka ruang tafsir, bukan menutup kemungkinan berpikir. Arsip-arsip lokal harus dirawat, bukan dicurigai. Museum rakyat harus dibangun, bukan hanya museum kenegaraan yang memajang artefak kekuasaan. Kita perlu sejarah yang memberi ruang untuk bertanya. Sejarah yang tak hanya menjawab dengan kebanggaan, tetapi juga mengakui rasa bersalah. Sejarah yang bukan hanya glorifikasi, tetapi juga penebusan.
Dan kita tahu: penebusan hanya mungkin terjadi bila ada keberanian untuk mengingat. Milan Kundera telah mengingatkan: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”
Ingatan adalah hak setiap warga. Ia bukan milik negara. Negara boleh menulis, tetapi rakyat pun berhak mengingat dengan cara mereka sendiri. Karena sejarah yang adil adalah sejarah yang didengar dari banyak mulut, bukan hanya dari podium kekuasaan.
Maka hari ini, kita perlu lebih dari sekadar menulis ulang sejarah. Kita perlu menyusun ulang keberanian untuk mengingat secara jujur. Karena kejujuran, betapapun asing di negeri ini, adalah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan bangsa yang terlalu lama hidup dalam narasi yang dibungkus kemegahan, tapi menyimpan luka yang tak pernah diberi nama.
adminbersemai
Leave a Reply