bersemai.org

Jasmi dan Masa-masa Sulit

Pada awal Oktober 1965, Jasmi telah mendengar berita tentang “pemberontakan PKI di Jakarta” melalui radio. Di suatu siang di akhir Oktober, ia dan 7 orang lain dibawa paksa oleh Pamong Desa ke balai desa, lalu ke kantor Kecamatan. Di sana ia ditahan selama lebih kurang sebulan, tanpa makan, tidur di lantai, dan tanpa kepastian hukum apapun. Setelahnya ia, dipindah ke kantor polisi dan ditahan di sana kurang lebih satu tahun. Tahun 1965 adalah masa-masa sulit baginya.

Pada tahun 1966 ia dibebaskan, namun harus wajib lapor ke kecamatan selama 4 tahun. Sedangkan kakak kandung dan kakak iparnya yang juga ditangkap pada tahun 1965, baru dibebaskan pada tahun 1967 sebagai tahanan daerah. Selama menjalani wajib lapor itulah waktu terberat dalam hidup Jasmi. Ia sering mendapatkan perlakuan kasar dan menyakitkan dari masyarakat. Ia juga mendapatkan diskriminasi saat mengakses layanan administrasi dan kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Setiap kali berangkat ke kantor Kecamatan untuk melapor, Jasmi tidak pernah lewat jalan raya. Beliau  lebih memilih lewat sawah yang sepi karena jika lewat jalan raya orang-orang selalu mencaci makinya dengan panggilan “Anjing Gerwani!”. Padahal, ia sama sekali tidak pernah bergabung ke organisasi tersebut. Hal tersebut membuatnya merasa seperti tidak mempunyai harapan hidup lagi pada waktu itu.

Jasmi, seorang perempuan kelahiran 1946. Seperti kanak-kanak pada masanya, ia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR). Pada usia 16 tahun, ia terlibat aktif dalam kegiatan kesenian. Pernah beberapa kali tampil dalam acara-acara kampung. Aktivitasnya ini membuat ia juga kerap tampil dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh Lekra, maupun oleh PKI. Sebelum geger-geger 1965, ia dan kelompok seninya memang tengah giat berlatih untuk penampilan mereka dalam ulang tahun PKI tahun setelahnya.

Pada tahun 1967 ia menikah. Naasnya, beberapa hari setelah menikah, suami dan kakak kandungnya kembali ditahan. Penangkapan ini karena tuduhan mereka melindungi dan memberi makan simpatisan PKI, padahal mereka sedang melangsungkan slametan. Dengan tuduhan serupa, kakak iparnya juga dibawa tentara sesaat setelah melangsungkan syukuran kelahiran anaknya. Tanpa proses peradilan yang pasti, mereka semua ditahan sampai Pulau Buru.

Pada tahun 1970/1971 Jasmi menikah lagi dan memiliki anak laki-laki yang lahir tahun 1973. Namun pada tahun 1978 mereka bercerai karena suaminya ingin menikah lagi. Untuk menghidupi keluarga kecilnya, di tengah keterbatasannya sebagai eks-tapol, pada tahun 1981 ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta, dan bekerja sebagai apapun termasuk sebagai asisten rumah tangga. Ia kembali ke kampung halaman pada tahun 2006. Kini ia tinggal bersama menantu dan cucunya dan menghidupi diri sebagai penjual bunga.

Pada tahun 2017, ia aktif terlibat dalam kelompok penyintas bernama Keluarga Dalam Sejarah (KDS) sebagai ketua. Salah satu agenda kelompok ini adalah pertemuan yang diadakan setiap tiga bulan sekali. Dalam setiap pertemuan, Jasmi selalu berusaha datang bertemu teman-teman sesama korban untuk saling menguatkan. Di usianya yang sudah 78 tahun ini, beliau selalu berharap adanya kerukunan dalam hidup ini.

—∗—

This content was produced by bersemai.org.
The grant funding for the project is from the “Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia” Small Grants Program,
an initiative of SEA Junction with support of the CMB Foundation.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *