Dokumentasi dan Memori Lintas-generasi
Oleh : Dhia Oktoriza Sativa (Mahasiswa Sejarah 2015)
Manusia hidup dalam tiga dimensi waktu yang berbeda, ia pernah hidup di masa lalu yang telah lewat dan tak akan terulang, ia hidup dalam masa kini yang sedang dijalani, dan ia akan hidup di masa depan yang ada di angan-angan. Ketiga dimensi waktu yang terpisah ini dihubungkan oleh sebuah konsep kausalitas alias sebab-akibat, dan disinilah manusia-manusia unggul pada zamannya menemukan momentum dengan penciptaan akan kamera, terutama dengan apa yang akan kita bicarakan ke depan, yakni foto sebagai dokumen, khususnya foto-foto kenangan di Pulau Buru yang diabadikan oleh Eko Sutikno. Foto-foto itu yang dapat menghubungkan masa lalu, kini, dan depan supaya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama dua kali.
Dikatakan bahwa “sebuah gambar bernilai ribuan kata.” Gagasan di sini adalah bahwa satu gambar saja cukup untuk menyajikan sebuah ide yang begitu rumit sehingga diperlukan ratusan kata-kata untuk menafsirkannya secara adil. Jika demikian, maka foto-foto, yang merupakan ekspresi langsung dan murni dari realitas yang dilihat oleh kamera, harus menjadi media yang tak tertandingi untuk mengungkapkan kebenaran – termasuk kebenaran Holocaust. Kekuatan foto sebagai ekspresi kebenaran berasal dari “aura mekanis dan ketelitian yang mereka bawa.” Seperti yang ditulis Walter Lippmann, jurnalis dan penulis pemenang Hadiah Pulitzer dua kali.
Foto-foto memiliki jenis otoritas atas imajinasi hari ini, yang dimiliki oleh kata yang dicetak kemarin, dan kata yang diucapkan sebelumnya. Mereka tampak benar-benar nyata. Mereka datang, kita bayangkan, langsung kepada kita, tanpa campur tangan manusia, dan mereka adalah makanan yang paling mudah dicerna untuk imajinasi pikiran…. Seluruh proses mengamati, menggambarkan, mengulangi dan kemudian membayangkan telah tercapai.
Dengan kata lain, foto membantu dalam pemahaman kita tentang suatu peristiwa dengan menangkap adegan; dan jika “seeing is believing“, maka foto-foto, yang menghadirkan kenyataan, memungkinkan kita untuk memahami dan percaya bahwa apa yang ditangkap dalam potret adalah apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, dikatakan pula bahwa fotografi lebih dari sekadar mencerminkan kenyataan; melainkan juga menafsirkannya. Dalam hal ini, fotografi sangat mirip dengan bentuk seni lainnya; sementara fotografer dapat menyajikan adegan dengan keaslian, fotografer yang sama juga dapat “memanipulasi” adegan yang mereka potret. Misalnya, foto dapat dipangkas untuk menghilangkan elemen tertentu sambil menekankan yang lain; foto dapat fokus pada subjek tertentu untuk menghadirkan pandangan dunia atau posisi moral tertentu; foto dapat menghilangkan elemen tertentu sama sekali. Selain itu, foto dapat berfungsi untuk “membekukan” adegan tertentu, menciptakan gambar yang akan diidentifikasi dengan subjek. Saya tak begitu jauh mengerti soal ilmu fotografi, tapi sekiranya ini yang dapat dikatakan tentang fotografi sebagai cara menafsirkan. Dan tentunya foto-foto karya Eko “Babe” Sutikno sangat menarik untuk ditinjau dari segi ini.
Setiap Generasi Menulis Sejarahnya Sendiri.
Kalimat di atas merupakan salah satu yang paling popular jika berbicara tentang sejarah. Apa sebab? Karena kalimat itu menurut saya secara implisit adalah kontra-argumen dalam melawan pandangan yang umumnya dipegang oleh banyak orang bahwa “sejarah adalah tentang menulis masa lalu secara objektif”. Padahal kenyataannya sejarah itu tidak pernah objektif. Dalam ilmu sejarah, khususnya bagian metode sejarah atau tahap-tahap menulis sejarah, dikenal empat tahap yakni : heuristic (pengumpulan sumber-sumber), kritik sumber (menyeleksi sumber terkait relevansi dan validitasnya), interpretasi (menghubungkan fakta-fakta yang diperoleh dari sumber dan menafsirkannya), dan terakhir historiografi (menulisnya menjadi sebuah karya sejarah).
Perlu diketahui kemudian bahwa dalam sejarah terdapat beberapa dimensi untuk menjelaskan dirinya. Sejarah yang diketahui objektif adalah peristiwanya (history as past actuality). Disitu sejarah adalah sesuatu yang objektif, dalam artian peristiwanya yang sudah lewat dan hanya terjadi sekali. Sejarah dalam pengertian itu kemudian hanya meninggalkan rekaman peristiwa lewat saksi mata baik yang melihatnya, menuliskannya, atau mengalaminya secara langsung. Memori yang terekam dalam sebuah peristiwa sejarah itulah yang disebut sumber sejarah. Kemudian apa yang saya terangkan di alinea di atas tentang metode sejarah yang menghasilkan karya sejarah/buku sejarah oleh sejarawan itu yang disebut (History as a narration) atau sejarah sebagai kisah. Sejarah itu bukanlah ilmu yang menetapkan standar tertingginya karena itu mustahil untuk diraih, melainkan dalam menyusun sejarah yang perlu diperjuangkan adalah intersubjektivitas alias menghadirkan beragam sumber dari beragam sudut pandang sehingga kita bisa menuliskan sejarah sedekat mungkin dengan peristiwanya, dari depan, samping, belakang, kanan, kiri, menjadikan kita mendekati sebuah lingkaran utuh untuk melihat peristiwa meskipun lingkaran bulat penuh itu tak mungkin dapat dihadirkan kembali karena sejarah sebagai peristiwa sudah usai dan tak terulang lagi.
Dengan satu frame bahwa sejarah tidak akan lepas dari subjektifitas penulisnya itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan, karena ilmu sejarah juga punya aturan bahwa subjektivitas dapat bermain sepanjang hal itu berdasarkan sumber sejarah. Sejarah bukan sejarah kalau menulis tidak berdasarkan sumber maka dari itu kita sering membaca beragam peristiwa dalam sejarah memiliki beragam versi, dan itu bukanlah hal yang buruk melainkan sebuah kekayaan yang harus dirayakan. Hal itu tak lain karena dalam metode sejarah ketiga yakni interpretasi, dimana penulis sejarah dengan beragam latar belakangnya dan kepentingannya serta tujuannya yang berbeda mempengaruhi bagaimana ia memilih sumber dan menafsirkannya.
Sementara itu yang perlu kita lakukan sebagai pembaca sejarah adalah membaca beragam karya itu sebanyak mungkin dan dari berbagai versi atau sudut pandang dan dengan akal sehat kita serta logika yang kuat mencoba mempertanyakan narasi dalam sebuah sejarah. Jika ada yang janggal maka karya tersebut dapat diragukan kebenarannya, dan mulai ke karya berikutnya sampai tuntas karya terakhir, disitu kita akan menemukan karya sejarah yang hampir mendekati kebenaran, itu sudah hal yang baik, jangan mengejar atau membayangkan ada karya yang sempurna, karena sekali lagi kebenaran yang sejati itu tidak akan pernah dapat diraih.
Kembali kepada hal “Setiap Generasi Menulis Sejarahnya Sendiri”. Salah satu sebab munculnya perbedaan tafsir dalam peristiwa sejarah adalah penulisnya berbeda generasi, setiap generasi memiliki cara khas masing-masing dalam berpikir dan bertindak. Hal ini disebabkan oleh salah satu aspek utama dalam ilmu sejarah, yakni waktu. Sejarah adalah ilmu tentang manusia dengan segala kegiatannya dalam lintasan waktu, dan dalam perjalanan waktu itu pula banyak hal yang berubah dalam kehidupan manusia, seperti : perbedaan dan perubahan nilai dan norma masyarakat yang disebabkan globalisasi, pergantian dari rezim militer ke rezim demokratis, perubahan konstelasi ideologi pasca perang dunia, kemerdekaan yang diraih sebuah bangsa dari kolonialisme, dan sebagainya turut pula membuka dan menghasilkan narasi-narasi sejarah yang baru bahkan dalam beberapa kasus menjungkir-balikkan sejarah itu 180 derajat.
Sebagai contoh : Rezim militer Orde-Baru adalah salah satu rezim di dunia yang tidak hanya puas dengan menguasai sumber ekonomi dan kekuasaan politik di negaranya melainkan juga hendak menguasai isi pikiran rakyatnya dengan mencekoki sejarah versi pemerintah dan memberangus yang memberikan versi alternative, terbukti bahwa setelah kekuasaan Orde Baru Soeharto tumbang dan alam reformasi bergulir, banyak fakta-fakta dalam narasi sejarah resmi yang dipertanyakan kebenarannya dan ketika diuji validitasnya banyak yang berguguran, disitulah narasi sejarah alternative menjadi tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.
Adapun contoh lain, ketika Mohammad Hatta, kita mengenalnya sebagai salah satu bapak bangsa Indonesia adalah salah satu orang pertama yang secara terang-terangan menggugat validitas sejarah yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dilakukan Hatta ketika ia dihadapkan ke pengadilan Den Haag, karena ia dan tiga orang kawannya dituduh merencanakan “persekongkolan” anti-pemerintah kolonial. Dalam pidato pembelaannya yang berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), Hatta tidak sekadar membantah tuduhan yang diarahkan kepadanya dan kawan-kawannya tetapi juga memaparkan proses tumbuhnya cita-cita nasionalisme Indonesia. Ia menguraikan landasan historis perjuangan organisasinya dan membayangkan masa depan bangsa yang diperjuangkannya bersama-sama teman-temannya seTanah Air.
Dalam konteks ini ia melancarkan kecaman terhadap corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah, kata ia, hanya disuruh dan dibujuk “untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye dan banyak lagi.” Sebaliknya, kata Hatta selanjutnya, sejarah Tanah Airnya sendiri dilukiskan sebagai sejarah Hindia Belanda, yang bermula “dengan datangnya Tuan Houtman di Teluk Banten.” Anak-anak sekolah “diharuskan membeo guru-guru mereka dan menganggap pahlawan-pahlawan Indonesia seperti Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar dan banyak lagi yang lain sebagai pemberontak, pengacau, bandit dan entah apa lagi. Padahal mereka adalah juga pahlawan-pahlawan seperti halnya Willem van Oranye, Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi dan sebagainya. Kepada mereka kami semua merasa berhutang budi.”
Dari dua contoh kasus di atas : Bagaimana kaum muda dan korban peristiwa G30S dan pembantaian massal 65-66 melihat narasi sejarah resmi secara kritis dan meragukan kebenaran sejarah resmi lalu menulis sejarahnya sendiri dan bagaimana Hatta muda sebagai aktivis mahasiswa Indonesia di Belanda menggugat sejarah Indonesia versi penjajah dan kemudian menuliskannya sendiri setidaknya sudah cukup menggambarkan kalimat “Setiap Generasi Menulis Sejarahnya Sendiri”.
Penutup
Pada akhirnya pameran foto dan perayaan mengenang Eko Sutikno hari ini dan esok adalah penting untuk menambah khasanah baru dalam narasi sejarah peristiwa pasca 65 (pemenjaraan dan kerja paksa di Pulau Buru) yang sudah usang versi resmi pemerintah Orba. Terutama bukti konkrit dengan puluhan foto yang diabadikan selama masa pembuangan di Maluku sana. Untuk itu generasi muda yang kebanyakan lahir pada masa akhir Orba dan tumbuh di alam reformasi memiliki cara pandang lain terhadap peristiwa 65-66. Adapun pameran foto Pulau Buru koleksi Eko Sutikno dan pemutaran film dokumenter “Babe” sebagai bukti gugatan dan pancaran dari kalimat “Setiap Generasi Menulis Sejarahnya Sendiri”. Sebagai penutup saya teringat pada kutipan pendek di buku “Pecinan Semarang dan Dar,Der, Dor Kota” karya Tubagus Svarajati. Begini bunyinya “Ingatan Pendek, Buku Memanjangkan”. Saya kira untuk menyambut pameran foto di diskusi bertajuk “Dokumentasi dan Memori Lintas Generasi”, kalimat pendek itu menemukan momentumnya dan bertransformasi menjadi “Ingatan Pendek, Potret Foto Membuatnya Abadi”. Saya juga berterima kasih telah diberi kesempatan oleh kawan-kawan dari berbagai komunitas untuk berbagi pandangan di sini sebagai pemantik, dan terutama berterimakasih telah mengenalkan saya kepada Eko “Babe” Sutikno dan membuat suara “Babe” dari alam kubur lebih keras.
—∗—
This content was produced by bersemai.org. |
![]() |
adminbersemai
Leave a Reply