bersemai.org

Kamp Plantungan

Plantungan berasal dari kata “latung” atau “lantung” tempat minyak latung atau minyak tanah. Atau disebut residu petroleum atau lengo potro sebagai bahan aspal. Hal in terlihat dari air sungai di pinggiran yang memunculkan warna ada tumpahan air di atas air, sehingga muncul lingkaran yang membentuk warna spektrum. Zat-zat dari air di sini yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk lepra. Dalam artikel Pengaruh Keberadaan Rumah Sakit Lepra Plantungan Kendal Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakatnya 1958-1964, bangunan rumah sakit Plantungan pada tahun 1870 awalnya digunakan sebagai rumah sakit militer untuk mengobati tentara yang menderita penyakit skrofula dan penyakit kulit. Dipilihnya karena terdapat air mancur untuk sumber pengobatan. Seiring bertambahnya jumlah pasien, rumah sakit militer tersebut diubah menjadi Rumah Sakit Kusta Plantungan pada tahun 1926. Dampak dari nasionalisasi hak milik memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat plantungan. Hal ini juga membuat plantungan semakin ramai. Tahun 1964, rumah sakit tersebut harus pindah ke Semarang, dipindahkan ke Rumah Sakit Kusta Tugurejo Semarang.

Sumber lain dalam buku Dari Kamp ke Kamp ditulis oleh Mia Bustam, terdapat angka 1870 di antara bangunan di Plantungan yang menandakan bahwa dulunya rumah sakit kusta itu baik untuk pribumi dan orang kulit putih. Sebagian besar bangunannya ada di punggung bukit Desa Kambang, di antaranya bangunan utama, sebuah aula, sebuah gereja kecil, pondok-pondok kecil dilengkapi bak-bak untuk berendam dalam air. Pondok-pondok diperuntukkan untuk pasien kulit putih yang cukup berada. Sedangkan pribumi ditempatkan di bangsal di lembah. Ketika Mia Bustam sampai di Plantungan, akhir Maret 1971 para tapol perempuan dari Jawa Timur telah sampai terlebih dahulu. Sebagian kompleks sudah ditempati Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak), ada pegawai Bispa dan anak-anak yang masuk dalam katagori nakal. Dua hari di Plantungan, datanglah rombongan tapol perempuan dari Jawa Barat dan Jakarta.

Sedangkan gambaran Plantungan dalam catatan Sumiyarsi Siwirini C. berjudul Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan bahwa Leprosesi atau rumah sakit lepra dibangun oleh kolonial pada tahun 1870. Setelah digunakan selama hampir seabad, rumah sakit tutup pada tahun 1960. Lalu pada tahun 1969 direnovasi oleh pemerintah dan digunakan sebagai penjara dan tahanan anak-anak. Lalu tahun 1970, dialih fungsikan sebagai tempat “pusat pelatihan” atau disebut “Inrehab” Instalasi Rehabilitasi seolah tapol perempuan dipersiapkan untuk terampil dan cerdas, bukan diamankan dalam belenggu tahanan yang mengurung. Penamaan itu menjadi cara Orba untuk melindungi citra rezim bukanlah sebagai rezim yang melanggar hak asasi manusia.

 

Kamp Tahanan di Atas

Kamp tahanan di atas sebagian difungsikan sebagai asrama tahanan anak-anak yang berjumlah belasan. Kantornya di bangunan utama. Pegawai Bispa jumlahnya lebih besar disbanding tahanan anak bertempat di pondok bekas pasien lepra VIP. Lalu digunakan untuk kantor, rumah dokter dan kantin. Para tapol perempuan yang datang lebih dulu sudah melakukan pembagian kerja. Ada yang kerja di kantor bagian administrasi, sekretaris dan di toko. Ladang pertanian, perkebunan, peternakan ada juga di atas. Perintis daerah atas itu ialah tapol perempuan yang lebih dulu datang. Mereka menggunakan alat sederhana untuk membongkar ilalang yang liar tinggi sepanjang mata memandang. Hingga tangan para tapol lecet, berdarah dan banyak yang jatuh sakit. Tak hanya itu, pekerjaan berlanjut untuk menebar benih dan sebagainya. Tak lama, bagian atas ini hanya diperuntukkan untuk bagian perkantoran, administrasi dan toko. Para tapol di pindah ke kamp tahanan bawah.

Kamp Tahanan di Bawah

Untuk menuju kamp tahanan bawah harus melewati jembatan gantung 25 meter, itulah penghubung antara kamp atas dan bawah. Listrik menyala dengan bantuan diesel. Rumah diesel terletak dekat jembatan dijaga oleh lelaki setengah baya. Dalam pengalaman Mia Bustam Blok A untuk ibu-ibu yang berumur, sering disebut blok nenek-nenek. Blok B, E, F campuran. Blok C khusus untuk tapol yang sakit paru-paru. Semuanya diberi 2 peti, satunya untuk tempat pakaian dan satu lagi untuk menyimpan makanan. 

Sedangkan oleh Sumiyarsi Siwirini C, menggambarkan jika kita berjalan dari atas melalui jempatan gantung, di depan kita akan terlihat Gedung pertemuan dan 3 kamar mandi kecil berjejer. Kamp bawah terdiri dari kompleks bangunan-bangunan. Di belakang Gedung pertemuan, ada Blok A yang dihuni kurang lebih 50 orang ibu muda atau yang belum menikah. Kemudian ada Blok B1 dan B2, masing-masing dihuni 50 orang dari guru, seniwati, mahasiswa dan ibu yang sudah tua. Di depannya agak ke bawah ada Blok C1 dan C2 dengan 20 orang klasifikasi berat, yaitu dosen, sarjana, seniwati yang terkenal dan sebagainya. Deretan akhir adalah dapur umum tempat masak bersama untuk 400-500 penghuni. Lalu terdapat masjid dan kamar untuk merawat pasien yang sakit.

Dari arah masjid dengan jalan menurun terdiri dari 10 undakan terdapat bangunan besar, yaitu Blok D berjumlah 75 orang campuran. Pada ujung halaman sebelah kiri terdapat deretan kamar mandi. Lalu bangunan sebelah kanan jalan, dekat Kali Lampir ada Blok E yang dihuni 50 tapol anak SMA dan ibu muda. Di samping Blok E terdapat bangunan panjang menghadap ke jalan, yaitu Blok F1, F1, F3 masing-masing dihubungkan 2 pintu. Blok itu dihuni 120 orang. Jadi total terdapat 427 tapol perempuan. 

Kehidupan di Kamp

Pintu-pintu kamp tidak memiliki kunci. Semua terbuka. Penghuni bebas keluar masuk, berkunjung ke Blok lain dengan ketentuan jam 21.00 WIB harus sudah ada di kamar. Itulah waktu bintara Ops mengadakan apel tiap Blok. Setiap pukul 06.00 WIB pagi diadakan apel seluruh penghuni di sepanjang jalan depan Blok D dan F1 yang berbaris menyesuaikan per-Blok. 

Pada pukul 06.00 WIB jadwal piket diaplus atau digilir dan pukul 07.00 WIB mulai bekerja sesuai penempatannya. Tapol dibagi ke berbagai kelompok kerja. Ada yang di unit pertanian, peternakan, perikanan, penjahitan, kerajinan, pembatikan, toko, dapur, kantor administrasi, klinik dan sebagainya. Tanda dimulainya bekerja ialah terdengar suara pukulan sebatang besi yang menggantung di dekat pos piket. Tanda waktu, dipukul dari sini dengan berapa jumlah pukulannya itulah tanda jam berapa. 

Bagi staf pekerja yang di dapur, sudah dibangunkan sejak pukul 03.00 WIB pagi, jam 05.00 WIB membagi air panas lalu diambil oleh Blok yang sedang korve (piket). Staf dapur berjumlah 10 orang dipimpin seoranng kepala yang akan terus diaplus atau digilir oleh grub lain setiap satu bulan. Yang korve akan menuangkan air panas ke setiap gelas yang sudah disiapkan oleh pemilik gelas dengan kopi atau teh, susu dan sebagainya yang ada pada masing-masing Blok. Lalu bagi yang korve akan membersihkan Blok, mulai dari menyapu, mengepel dan lain-lain. Setiap grup korve terdiri dari 3 orang. Bagi yang di dapur bekerja mulai dari pukul 03.00 WIB pagi sampai pukul 12.00 WIB, pukul 15.00 WIB sampai 17.00 WIB, bekerja 10 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Sementara yang bekerja di klinik, masih menggunkana Gedung lama tahun 1870. Setelah jam kerja selesai, tapol dibebaskan melakukan kegiatan apapun. Bagian peternakan, memelihara domba, kelinci, dan ayam buras. Tapol mencari rumput di lereng-lereng bukit dengan mengarit.

Ibu Tarn istrinya Nyoto, tokoh PKI paling kiri dengan anaknya Butet.

Dengan adanya tapol di Inrehab Plantungan, banyak petugas berpesta ria selama belasan tahun. Mereka melakukan pencatutan pada setiap barang-barang sumbangan untuk tapol. Misalnya, tikar-tikar alas amben tempat tidur tapol yang harusnya setiap orang mendapatkan 1 tikar, tapi hanya diberi 2 untuk tiap amben yang ada 5 orang. Jadi yang ditilap sejumlah 400x 3 lembar, yaitu 1.200 lembar. Barang lain seperti kasur, seprei, handuk, sandal, juga makanan telur, daging, kacang hijau, dan sebagainya yang menjadikan tapol harus membeli makanan di luar jatah makanan harian.

Diceritakan oleh Amurwani Dwi Lestariningsih dalam tulisan berjudul Oral History in Indonesian Contemporary Historiography: A Case Study of Female Political Prisoners in Plantungan Camp 1969 – 1979, sering terjadi pelecehan seksual tapol perempuan di Plantungan. Budaya patriarki yang kuat menyebabkan adanya dominasi otoritas terhadap para tahanan politik perempuan. Mereka tidak bisa melawan ketika dilecehkan secara seksual. Bahkan seorang tapol hamil hingga tiga kali.

Pembebasan

Pada tahun 1977, para tahanan politik perempuan dibebaskan secara bertahap hingga tahun 1979. Masa pemulihan bukanlah masa yang mudah. Sebagai mantan tahanan politik, mereka mengalami pengucilan sosial. Mereka terus menerima hukuman dari masyarakat. Bermacam-macam pekerjaan baik di sektor formal maupun informal tertutup bagi mereka. Stigma yang mana telah melekat pada mereka tidak bisa dihilangkan begitu saja. Adanya “bersih lingkungan” pada masa Orde Baru, sebagian membuat mereka mengubah status keluarga, khususnya pada anak-anak. Mereka terpaksa mengubah status anak-anaknya menjadi anak kandung dari saudara jauhnya atau keluarga lain yang ingin diasuh mereka. Itu semua dilakukan agar anak-anak dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai kesempatan untuk bekerja di sektor formal. Kecurigaan terhadap eks tapol perempuan di masyarakat terus bermunculan. Bahkan ada orang yang langsung menyangkal kehadirannya. Itu sebabnya mantan perempuan tahanan politik mengisolasi diri dari masyarakat sekitar. Kenyataannya harus dapat diterima oleh mereka karena masyarakat pada umumnya telah mempunyai nilai dan norma yang dibangun dari pengalaman dan pemahaman tentang sejarah. Pasca reformasi, para eks tapol berusaha membuka diri kepada masyarakat.  Mereka mulai memberikan kesaksian kepada yang ingin mendengarkan kesaksian. Berbagai wacana yang selama ini dianggap tabu mulai diperbincangkan. Perlahan-lahan, kabut gelap mulai terungkap. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mengembalikannya mereka agar diterima sepenuhnya di masyarakat.

—∗—

This content was produced by bersemai.org.
The grant funding for the project is from the “Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia” Small Grants Program,
an initiative of SEA Junction with support of the CMB Foundation.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *