bersemai.org

Membaca Mia Bustam: Memoar Kedua, Dari Kamp ke Kamp

Dari Kamp ke Kamp adalah kisah yang penuh emosi, menghadirkan potongan sejarah Indonesia yang mungkin tidak banyak diketahui generasi muda. Ditulis oleh Mia Bustam, buku ini melanjutkan memoar pertamanya. Dalam volume kedua ini, Mia berbagi pengalaman getirnya sebagai tahanan politik yang berpindah dari satu kamp ke kamp lainnya.

“Saya tidak pernah membayangkan hidup akan membawa saya ke tempat seperti ini,” tulis Mia dalam salah satu bagian memoarnya. Kalimat ini menggambarkan awal penderitaan Mia setelah peristiwa 30 September 1965. Ia menjadi salah satu dari ribuan orang yang ditahan tanpa alasan jelas, terpisah dari keluarga dan anak-anaknya. Dalam setiap bab, Mia memaparkan perjuangannya bertahan di tengah stigma dan represi politik.

Memoar ini menghadirkan narasi yang sangat manusiawi. Misalnya, ketika Mia menggambarkan bagaimana ia belajar membuat peralatan dapur dari potongan kaleng di kamp tahanan. “Berbagi makanan sederhana yang saya masak di panci kecil adalah cara saya bertahan secara emosional,” tulisnya, memberikan gambaran tentang solidaritas yang tumbuh di tengah keterbatasan.

Salah satu kekuatan utama buku ini adalah sudut pandang Mia sebagai perempuan. Ia tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pelaku yang aktif bertahan dalam situasi sulit. Dalam salah satu bagian, Mia mengenang momen di mana ia berbagi ilmu menjahit kepada sesama tahanan, sebagai cara untuk mengembalikan rasa percaya diri mereka. “Di tengah keterbatasan, kami belajar untuk saling menguatkan,” ungkapnya.

Kisah Mia Bustam memberikan inspirasi bagi perempuan muda masa kini bahwa perjuangan tidak hanya berarti melawan ketidakadilan secara langsung, tetapi juga menjaga martabat dan kemanusiaan dalam keadaan apa pun.

Gaya penulisan Mia sederhana namun penuh kekuatan. Ia menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti, tetapi tetap mampu menyentuh hati pembaca. Contohnya, dalam sebuah bagian di mana Mia menggambarkan perpisahannya dengan anak-anaknya, ia menulis, “Tangisan mereka tidak bisa saya lupakan. Namun, saya hanya bisa berdoa agar suatu hari mereka mengerti mengapa saya harus pergi.” Narasi yang mengalir ini membuat buku ini sangat relevan bagi pembaca muda yang mungkin merasa sejarah terlalu kaku atau jauh dari kehidupan mereka.

Memoar ini mengajarkan kita untuk memandang sejarah dengan lebih empatik. Kisah Mia mengingatkan kita bahwa mereka yang menjadi korban dalam pusaran politik adalah manusia biasa yang memiliki harapan dan mimpi. “Kita semua ingin hidup dengan damai, tetapi dunia politik sering kali berkata lain,” tulis Mia, menekankan pentingnya memahami sisi manusia dari setiap konflik. Bagi generasi muda yang hidup di era media sosial, buku ini juga mengingatkan tentang bahaya stigma dan narasi tunggal. Ketika opini bisa menyebar begitu cepat, empati dan keberanian berpikir kritis menjadi sangat penting.

Meskipun sangat kuat dalam menyampaikan pesan, beberapa bagian dalam memoar ini terasa kurang mendalam. Misalnya, cerita tentang perpisahan Mia dengan anak-anaknya mungkin bisa lebih diperluas untuk menggambarkan betapa berat beban emosional yang ia rasakan. Namun, ini tidak mengurangi kekuatan buku secara keseluruhan.

Mia Bustam Memoar 2: Dari Kamp ke Kamp adalah lebih dari sekadar buku sejarah. Ini adalah kisah tentang keberanian, solidaritas, dan perjuangan untuk mempertahankan kemanusiaan di tengah situasi yang paling sulit. Untuk pembaca muda, buku ini menawarkan pelajaran berharga tentang pentingnya memahami sejarah secara kritis dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

—∗—

This content was produced by bersemai.org.
The grant funding for the project is from the “Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia” Small Grants Program,
an initiative of SEA Junction with support of the CMB Foundation.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *