bersemai.org

Membaca Mia Bustam: Memoar Pertama, Aku dan Sudjojono

Buku Mia Bustam Memoar 1: Aku dan Sudjojono adalah karya autobiografi yang memukau dari Mia Bustam, seorang figur yang sering kali hanya dikenal sebagai istri pelukis ternama, S. Sudjojono. Namun, melalui buku ini, Mia menunjukkan dirinya sebagai sosok yang kompleks dan mandiri, dengan perspektif yang tajam terhadap kehidupan pribadi dan sosial di Indonesia pada masa-masa yang penuh gejolak.

Memoar ini membawa pembaca menyelami perjalanan hidup Mia Bustam, mulai dari masa kecilnya yang sederhana hingga pertemuannya dengan Sudjojono, seorang pelukis yang kemudian menjadi suaminya. Kisah ini tidak hanya berpusat pada hubungan cinta mereka, tetapi juga pada dinamika kehidupan berumah tangga, pergolakan batin Mia, dan perjuangan menghadapi tantangan sebagai seorang perempuan yang hidup di bawah bayang-bayang suami yang terkenal.

Mia menulis dengan jujur, bahkan kadang menyakitkan, tentang suka duka hubungannya dengan Mas Djon, panggilan Mia kepada Sudjojono. Ia tidak berusaha menyembunyikan konflik atau rasa kecewa yang ia alami, terutama ketika Sudjojono memutuskan akan menikah lagi dengan seorang perempuan lain. Salah satu kutipan yang menggambarkan perasaan Mia adalah, “Aku merasa diriku seperti daun kering yang diterbangkan angin, kehilangan pegangan di tengah badai.” (hlm. 78). Dalam buku ini, Mia tidak hanya menceritakan tentang Sudjojono sebagai seniman besar, tetapi juga sebagai seorang manusia dengan kelemahan dan kontradiksinya sendiri.

Selain kisah pribadinya, memoar ini juga memberikan gambaran menarik tentang kehidupan sosial dan politik Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Mia adalah saksi langsung dari berbagai peristiwa penting, seperti masa penjajahan Jepang, perjuangan kemerdekaan, dan masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Pengalamannya memberikan perspektif berharga tentang bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia saat itu, khususnya kaum perempuan.

Sebagai seorang yang hidup dalam lingkaran seniman dan intelektual, Mia juga memberikan wawasan tentang dinamika komunitas seni pada masa itu. Sudjojono, yang dikenal sebagai “Bapak Seni Lukis Modern Indonesia,” sering kali menjadi pusat perhatian. Namun, melalui tulisan Mia, pembaca dapat melihat sisi lain dari komunitas seni tersebut, termasuk persahabatan, persaingan, dan ideologi yang memengaruhi karya-karya mereka. Kutipan seperti, “Kami tidak hanya berbicara tentang seni, tetapi juga tentang bagaimana seni harus menjadi bagian dari perjuangan rakyat” (hlm. 120), menggambarkan semangat zaman yang menginspirasi.

Salah satu kekuatan buku ini adalah gaya penulisannya yang personal dan mengalir. Mia Bustam menulis dengan kehangatan dan kejujuran yang membuat pembaca merasa seolah-olah sedang mendengarkan cerita langsung dari seorang teman dekat. Bahasa yang digunakan sederhana, tetapi penuh makna, dengan deskripsi yang hidup tentang orang-orang dan peristiwa yang ia alami.

Mia juga memiliki kemampuan untuk merefleksikan pengalamannya dengan mendalam. Ia tidak hanya menceritakan apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana peristiwa tersebut memengaruhi dirinya sebagai individu. Misalnya, ia menulis, “Dari setiap kehilangan, aku belajar menemukan diriku kembali, seperti menata ulang potongan-potongan teka-teki hidup.” (hlm. 213). Refleksi-refleksi ini memberikan dimensi emosional yang kuat pada buku ini, menjadikannya lebih dari sekadar catatan sejarah pribadi.

Meski buku ini memiliki banyak kelebihan, ada beberapa bagian yang terasa kurang mendalam, terutama ketika Mia membahas peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Dalam beberapa bagian, narasi terasa terlalu cepat, sehingga pembaca mungkin merasa kehilangan konteks yang lebih luas. Namun, hal ini dapat dimaklumi mengingat fokus utama buku ini adalah kisah pribadi Mia.

Memoar ini sangat relevan bagi pembaca masa kini, terutama mereka yang tertarik pada isu-isu gender, sejarah, dan seni. Kisah Mia Bustam menunjukkan bagaimana seorang perempuan dapat bertahan dan menemukan kekuatannya sendiri di tengah tekanan sosial dan pribadi. Bagi pembaca muda, kutipan seperti, “Jangan pernah takut menjadi berbeda, karena dari perbedaan itu kita menemukan kekuatan” (hlm. 256), bisa menjadi inspirasi untuk terus melangkah maju.

Mia Bustam Memoar 1: Aku dan Sudjojono adalah sebuah buku yang menggugah dan menginspirasi. Melalui tulisan yang jujur dan reflektif, Mia Bustam berhasil menggambarkan kehidupan pribadi dan sosialnya dengan cara yang mendalam dan menyentuh. Buku ini bukan hanya tentang dirinya atau Sudjojono, tetapi juga tentang pergulatan menjadi seorang perempuan di tengah perubahan besar dalam sejarah Indonesia.

Bagi siapa pun yang tertarik pada seni, sejarah, atau kisah-kisah perempuan yang kuat, buku ini adalah bacaan yang sangat layak untuk diresapi. Mia Bustam berhasil menunjukkan bahwa ia bukan hanya “istri Sudjojono,” tetapi seorang individu dengan suara dan pengalaman yang penting untuk didengar. Untuk pembaca muda, buku ini menawarkan pelajaran berharga tentang keberanian, kemandirian, dan pentingnya menemukan jati diri di tengah tantangan hidup.

—∗—

This content was produced by bersemai.org.
The grant funding for the project is from the “Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia” Small Grants Program,
an initiative of SEA Junction with support of the CMB Foundation.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *