bersemai.org

Merawat Ingatan Melalui Tembang


Peristiwa 1965 menjadi satu dari rentetan catatan kejahatan HAM masa lalu di Indonesia. Theresia Kadmiyati menjadi satu dari ribuan korban yang ditangkap tanpa adanya pengadilan. Kadmiyati dijemput oleh aparat, kemudian dibawa ke kecamatan sebelum akhirnya ke Camp Bantul. Ia ditahan selama satu tahun dari tahun 1965 sampai 1966. Namun, pada tahun 1968, ia kembali dipanggil dan ditahan selama 6 bulan di Kodim Bantul. 

Alasan Kadmiyati ditangkap cukup sederhana, yakni kegemarannya bergelut di bidang kesenian dan mengajar di TK Melati. Ketika ditangkap, ia sedang duduk di bangku kelas 3 Sekolah Pendidikan Guru. Bagi Kadmiyati, seni menjadi sebuah media penghibur. Sebelum ditangkap, Kadmiyati bergabung dalam kelompok ketoprak yang mementaskan berbagai macam cerita. Ia juga turut serta memerankan tokoh istri adipati dalam lakon “Banjir Darah”. Cerita tersebut mengisahkan tentang intrik dalam pemerintahan. 

Di dalam keluarga, Kadmiyati bukan satu-satunya yang ditangkap, ayah dan kakaknya juga turut ditangkap dan dipenjara. Ayahnya ditangkap karena memiliki gamelan dan mengadakan latihan-latihan kesenian. Ayahnya diduga terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Padahal, ayahnya hanya tergabung dengan Barisan Tani Indonesia (BTI). Sementara itu, kakak laki-lakinya yang mengajar di Lamongan, Jawa Timur juga turut ditangkap. Pada tahun 1968, kakaknya pulang ke rumah di Yogyakarta, tetapi malah disangka pelarian dari kamp tahanan di Jawa Timur. 

Selama dua kali ditahan, Kadmiyati merasakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Pada penahanannya yang kedua, ia ditelanjangi untuk dicari cap Gerwani. Padahal, di tubuhnya tidak ada sama sekali cap Gerwani. 

“Disuruh telanjang, dicari cap Gerwani-nya,” kata Kadmiyati mengungkapkan alasan pemanggilannya pada tahun 1968. 

Kadmiyati tidak sendiri, ada beberapa teman yang dipanggil dan ditahan lagi setelah bebas. salah satunya, seorang perempuan yang telah menikah dan sedang hamil dua bulan dipanggil oleh aparat. Pemanggilan tersebut terkesan hanya lelucon dan ajang iseng kepada korban kejahatan ’65. Mereka yang dipanggil lagi setelah bebas tidak bisa melawan dan harus tunduk apapun perintahnya. 

Selama ditahan, Kadmiyati melakukan berbagai bentuk pekerjaan. Seperti, membuat selokan, membuat aliran, dan bentuk-bentuk kerja bakti lainnya. Tidak hanya itu, Kadmiyati juga harus memisahkan uang satu koper yang telah berjamur dan lengket. Selanjutnya, uang-uang tersebut akan dihitung dan dikembalikan kepada aparat. 

Mimpi buruk rasanya terus berlanjut sampai Kadmiyati bebas dari penjara. Stigma buruk datang menghampirinya. Ia seperti diliyankan di tengah masyarakat. Masyarakat sekitarnya menjauhi. Tidak pernah dilibatkan dalam pemerintahan serta penyelesaian masalah di lingkungan tempat tinggalnya. Namun, Kadmiyati tidak menyerah. Ia dengan gigih terus mencoba untuk membaur dan melibatkan diri dengan kegiatan di masyarakat.

Misalnya, ketika ada orang meninggal, punya hajatan, dan gotong royong maka Kadmiyati akan datang dan berusaha membaur dengan masyarakat. Atas kesabaran dan usahanya yang gigih, Kadmiyati diterima kembali di masyarakat. Bahkan, ia turut serta menjadi pengurus Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desanya. 

Untuk terus terhubung dengan kawan-kawannya dan mengetahui sampai mana perhatian pemerintah ke korban geger ‘65, Kadmiyati pun bergabung dengan komunitas korban peristiwa ’65. Awalnya, ia bergabung dengan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB) yang beranggotakan korban ’65. Namun, sayangnya lembaga tersebut harus bubar karena adanya penjegalan. Kemudian, Kadmiyati bergabung dengan Kiper, komunitas korban dan anak cucu korban ’65. Dengan bergabung bersama Kiper menjadi upayanya untuk terus terhubung dengan teman-temannya sesama korban. 

Kadmiyati tidak memiliki dendam kepada pemerintah apalagi orang-orang di balik peristiwa geger ’65. Harapannya pun sederhana, yakni menghilangkan segala jenis stigma dan diskriminasi. Tidak ada lagi pembungkaman-pembungkaman. 

“Bisa diuwongke (dimanusiakan) dengan harapan bisa dilibatkan dalam suatu acara. Dihilangkan dari pembungkaman-pembungkaman. Hidup yang layak,” terang Kadmiyati. 

Untuk merawat ingatan masa lalu, Kadmiyati menulis tembang. Salah satunya, tembang Pangkur berjudul “Nguda Rasa” yang mengisahkan hidupnya sebelum dan sesudah peristiwa ’65. Tembang tersebut terdiri dari lima bait. Pada bait pertama, mengisahkan tentang masa-masa bahagia bisa bersekolah. Dalam bait itu pula, Kadmiyati menceritakan mengenai biografinya mulai dari masih sekolah sampai kelas 3 Sekolah Pendidikan Guru. Serta, keinginannya menjadi pembimbing yang baik. 

Kemudian, pada bait kedua dijelaskan bahwa impiannya terwujud dengan menjadi guru di TK Melati. Yang mana, pada masa itu memiliki 25 murid. TK Melati sendiri menjadi salah satu bentuk perjuangan Gerwani dalam memberantas buta huruf di Indonesia. 

Pada bait ketiga tembang tersebut mengisahkan mengenai peristiwa kelam pada 1 Oktober 1965. Negara menjadi kacau. Manusia-manusia dijadikan sebagai tumbal. Mereka disiksa, dibunuh, dan dirampok harta bendanya. Kemudian, pada bait  keempat menceritakan mengenai orang-orang—yang diduga berafiliasi dengan PKI atau bahkan yang tidak memiliki hubungan dengan partai tersebut—dipenjara dan dibunuh. Mereka—dalang peristiwa ’65—seperti raksasa yang baru mengamuk. Serta, selalu membuat kesengsaraan. 

Bait kelima menceritakan tentang negara dibuat rusak oleh seseorang yang ingin menduduki negeri dengan menginjak kepala korban yang telah meninggal. tanpa adanya rasa kemanusiaan menciptakan semua kesengsaraan. Peristiwa tersebut terus membekas, tidak akan pernah lupa. 

#Pangkur#

Nguda Rasa

Kanggit deneng Theresia Kadmiyati

Eleng jaman isih muda

Nedheng seneng senenge nuntut ngelmi

Nempuh pawiyatan luhur

Ing Taman Guru Muda

Tumapake pendidikan kelas telu

Ngumpulake bocah bocah

Kanti Sedaya bisa mbimbing

Temah bisa kaleksanan

Tinengeran Kanak Kanak Melati

Jumlah murite selangkung

Wujud kanggo berjuang

Gerakan Wanita Indonesia ampuh

Uga ane PBH

Nindakake Visi Misi

Lamun bisa kaleksanan

Ana Wulan Oktober tanggale siji

Negarane mawut mawut

Manungsa kanggo tumbal

Kaperjaya kasiksa digawe lampus

Ya anjarah raja brana

Yekti nyata kyanat Nagri

Akeh warga kang sengsara

Mlebu bui pitenah dipateni

Lamun asor kudu unggul

Keadilan tan ana

Kaya sipat raseksa kang lagi ngamuk

Tansah gawe panca baya

Nguja kamurkaning ati

Tatanan digawe rusak

Bajul buntung ngejeki Nagri

Donyane ambur adul

Ancik ancike Sirah

Tanpa ana rasa kamanungsanipun

Nyipta sagunging Sangkala

Prastawa Tan bisa lali

10 Mei 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *