Peristiwa yang Hampir Hilang oleh Penyintas Tahun 1965 di Yogyakarta
Perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta tidak mudah bagi saya, seorang pemabuk jalanan, khususnya perjalanan menggunakan mobil. Dalam perjalanan semasa kuliah di Semarang, saya tidak pernah terpikirkan untuk melakukan perjalanan bertemu dengan penyintas atau korban salah tangkap pada tahun 1965. Bahkan saya juga baru mengerti semenjak bertemu dengan semai.
Berproses di Semai memberikan beberapa kesempatan kepada saya dan teman-teman yang terlibat untuk belajar dan berbagi melalui metode menemui korban dan saling mendengarkan cerita korban tragedi salah tangkap tahun 1965 di Yogyakarta.
Sebelum di Yogyakarta, saya dan teman-teman Semai juga sudah bertemu penyintas di Pati, Jawa Tengah. Bagi saya, perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta dengan kondisi mabuk perjalanan sangat melelahkan. Namun, ketika saya menemui dan mendengar langsung cerita para penyintas di Yogyakarta, entah mengapa saya menjadi bersemangat dan energi saya terhubung kembali. Salah satu yang membuat saya bangkit dari kelemasan tubuh saya adalah mendengar pengalaman para penyintas; Eyang Kadmiyati dan Eyang Endang selama beberapa tahun di dalam tahanan. Cerita mereka merupakan sesuatu yang baru bagi saya, valid dan memunculkan emosi.
Kekuatan cerita Eyang Kadmiyati dan Eyang Endang membawa angin segar bagi saya sebagai seorang yang awam sejarah dan cenderung banyak mengikuti narasi sejarah tahun 1965 versi televisi dan Youtube. Lalu mengapa cerita penyintas menjadi angin segar bagi saya ? Karena berdasarkan yang saya dengar selama ini dengan cerita penyintas langsung selama masa penangkapan dan proses di tahanan menjadi tenggelam oleh sejarah. Karena perpolitikan, kontra narasi cerita pemerintah versus cerita korban atau penyintas yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Di antaranya adalah, setiap warga sipil yang memiliki pengaruh di lingkungannya, yang diduga berpotensi menentang ideologi, budaya, politik serta kerja-kerja pemerintah era Soeharto ditangkap, baik aktornya langsung maupun keluarganya. Hal ini tentu sangat ironis dan tragis, karena upaya untuk memerdekakan masyarakat sipil lintas ideologi, demokrasi, seni, pendidikan dan politik pada zaman itu selalu dibatasi dengan dalih komunis dan pemberontak. Dampaknya, banyak korban salah tangkap, yang kemudian menjadi bumerang pada pemerintah Indonesia sendiri.
Ketika saya memiliki kesempatan untuk mendengar secara langsung dari penyintas, atas izin masing-masing penyintas, saya menemukan benang merah dan kata kunci, bahwa sebetulnya negara sudah mengakui kesalahan yang mereka buat pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo. Akan tetapi, atas dasar pengakuan tersebut, menjadi bumerang juga pada korban yang selama ini hak-haknya masih tidak dijamin dan cenderung diabaikan.
Di antaranya adalah negara menjadi aktor pembungkusan data, yang mengakibatkan minimnya pengarsipan dan pertanggungjawaban dari negara. Mengakibatkan narasi yang terus berkelanjutan tragedi korban salah tangkap pada tahun 1965 menjadi lemah dan cenderung mengabaikan pemenuhan pelanggaran HAM berat. Di antara haknya adalah sebagai masyarakat sipil baik ekonomi, politik, pendidikan dan budaya serta pemulihan atas trauma-trauma yang mereka alami pada saat penangkapan dan lingkungan sekarang yang masih dalam hate peach.
Hal ini kemudian menjadi catatan penting bagaimana negara dapat berlaku tegas, bertanggung jawab untuk mensejahterakan dan melindungi para penyintas. Karena stigma masyarakat terhadap korban salah tangkap pada tahun 1965 menjadi hantu gentayangan dan berduri sampai saat ini. Tidak hanya terjadi pada penyintas saja, melainkan keluarga dan anak cucu penyintas juga turut menjadi korban diskriminasi.
Demikian bentuk diskriminasi yang dialami oleh penyintas baik Eyang Kadmiyati dan Eyang Endang. Eyang Endang ditahan di Plantungan. Siapapun yang mencoba keluar dari tahanan akan diberikan hukuman. Hukuman tersebut bervariasi, misalnya kepala diinjak, ditendang, dipukul dengan bedil, bahkan nyaris ditembak mati. Oleh sebab itu, cara satu-satunya untuk bertahan hidup di penjara, yakni dengan mengikuti arus. Seperti yang dilakukan Eyang Endang. Kemudian seusai dibebaskan, diskriminasi tidak berhenti begitu saja, melainkan terus berlanjut hingga ke anak cucunya.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami adalah sempitnya kesempatan mendapatkan hak-hak warga negara seperti, bekerja, hidup yang aman dan nyaman dalam lingkungan tempat tinggal. Karena, banyak masyarakat yang masih memandang mereka sebagai pemberontak negara. Fakta-fakta ini menjadi catatan besar buat negara, untuk lebih memperhatikan kembali narasi pembantaian TNI oleh para pemberontak.
Dari apa yang sudah diceritakan kedua Eyang, baik Eyang Kadmiyati maupun Eyang Endang ketika anak muda antusias terhadap peristiwa masa lalu yang belum tersampaikan. Pada pertemuan dan dialog ini saya bisa simpulkan dapat membuat para penyintas merasa terhubung semangat untuk melanjutkan hidup. Terlihat bagaimana mereka begitu antusiasme bertemu dengan anak muda. Karena anak muda pada zaman sekarang menjadi point of the point dalam perubahan yang sedang terjadi. Di antaranya adalah melanjutkan kisah dan cerita kebenaran yang selama ini masih dalam kontra narasi kebohongan. Cara tersebut tentu menjadi alternatif bagi penyintas–yang telah memasuki usia senja–untuk terus menyuarakan kisah-kisah kebenaran peristiwa 1965 yang tidak banyak dibicarakan di publik.
Salah satu seni hidup yang menarik dilewati para penyintas selama di tahanan baik Eyang Endang dan Eyang Kadmiyati adalah memanfaatkan waktu dengan berkegiatan atau berseni. Eyang Endang salah satu tahanan di Palutungan bercerita ia di penjara selama belasan tahun keran di dalam tahanan ia berkegiatan baik mengikuti kegiatan di gereja dan menyempatkan aktivitas olahraga. Ia juga berfikir pada saat itu “ Bagaimana caranya saya hidup di sini secara cepat dan kembali pulang salah satunya dengan berkegiatan”. Alasan Eyang mengikuti beberapa aktivitas seperti bermain olahraga dan aktif di gereja, merupakan sebuah sen pengalihan pikiran untuk meminimalisir kesedihanya secara berlarut-larut upaya bangkit dan semangat kembali untuk melanjutkan hidup.
Dari uraian di atas, jika ditarik kesimpulan perasaan seperti apa yang saya terima ketika berdialog langsung dengan para penyintas ? Berdasarkan alur cerita yang sudah disampaikan, tentu di awal saya sudah mengatakan bahwa emosi yang diceritakan para penyintas begitu mudah tersalurkan karena menceritakan pengalaman kekerasan. Tidak hanya itu saja tentunya, keterhubungan semangat energi melanjutkan hidup yang disampaikan oleh para penyintas menjadi terhubung kepada saya. Terutama bagaimana saya bisa mengambil nilai positifnya pada pengalamannya yang begitu kompleks dari berbagai sisi.
Terutama mempertahankan cerita kebenaran dalam menjalankan hidup yang terus menghidupi dengan cerita-cerita yang sudah dialami. Hal ini tentu menjadi salah satu peringatan atau pengingat bagi saya, untuk melanjutkan kembali cerita-cerita kebenaran yang terjadi pada peristiwa penangkapan 1965 masa lalu. Yang pada umumnya sering dinarasikan sebagai narasi kebencian terhadap TNI dan pemerintahan Soeharto.
adminbersemai
Leave a Reply