Soemini Mencari Keadilan Sampai Akhir Hayatnya
Debora Soemini tak pernah menyangka, peristiwa penculikan dan pembunuhan beberapa petinggi Angkatan Darat di Jakarta oleh sekelompok tentara akan mengubah seluruh hidupnya secara drastis.
Ia baru berkuliah selama tiga bulan di Institut Pertanian dan Gerakan Tani Egom, Bogor. Sesuatu yang ia idamkan karena tak banyak orang memiliki kesempatan menempuh pendidikan tinggi saat itu, ketika kampusnya diserbu sekelompok orang, diobrak-abrik, dan beberapa orang ditangkap. Belakangan setelah seluruh mahasiswa diliburkan, ia baru mengetahui bahwa kampusnya telah diratakan karena dianggap basis pendukung Partai Komunis Indonesia. Tertuduh utama peristiwa di Jakarta.
Ia lalu pulang ke Pati, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Di sini, ia ditangkap dengan tuduhan ikut menyiksa para jenderal. Tentu saja ia menolak keras tuduhan itu. Penangkapan tersebut membuatnya mengalami berbagai penyiksaan bahkan nyaris diperkosa. Tuduhan itu, tak pernah terbukti dan ia pun tak pernah dihadapkan pada pengadilan apapun. Tetap saja Soemini ditahan hingga tahun 1971 ia dibebaskan.
Kebebasan itu tak pernah benar-benar terjadi. Soemini diwajibkan untuk melapor secara berkala. Bahkan Kartu Tanda Penduduk diberi stempel Eks Tahanan Politik (ET). Kebijakan rezim orde baru ini membuat ia dikucilkan di masyarakat, dijauhi, dan tak ada yang berani memberinya pekerjaan. Soemini bertahan hidup dengan menjahit.
Kisah Debora Soemini atau Eyang Soemini, begitu ia akrab dipanggil, hanya sebagian kecil kisah dari ribuan penyintas pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang terjadi pada tahun 1965 yang tidak pernah memperoleh pengadilan apapun sampai sekarang.
Korban Hidup dalam Bayang-Bayang Ketakutan
Pada tahun 1965, Indonesia mengalami peristiwa yang kelam dan berdampak dahsyat . Peristiwa ini, yang sering disebut sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S,” menyisakan jejak luka yang dalam dalam ingatan kolektif bangsa. Bagaimanapun, dibalik retorika resmi dan narasi resmi, tersimpanlah kisah yang jarang terdengar: kisah para penyintas, mereka yang menyaksikan dan merasakan dampak pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa itu.
Peristiwa 1965 diawali dengan kudeta militer yang gagal pada 30 September, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh menjadi dalang peristiwa tersebut oleh otoritas yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto dan Angkatan Darat. Akibatnya, dimulailah gelombang penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan massal terhadap anggota PKI dan simpatisan komunis. Namun, peristiwa ini tidak hanya terbatas pada penghapusan elemen komunis. Kaum intelektual, aktivis sosial, dan kelompok etnis tertentu juga menjadi sasaran. Perkiraan jumlah korban bervariasi, tetapi diprediksi mencapai ratusan ribu orang.
Dalam bayang-bayang peristiwa tersebut, penyintas menjadi saksi bisu dari pelanggaran hak asasi manusia berat yang tak terbayangkan. Mereka adalah saksi hidup yang menyimpan ingatan pahit dibalik senyum bertahan mereka. Melalui perspektif mereka, kita dapat melihat betapa kejamnya perlakuan yang diterima oleh mereka yang tidak bersalah. Dari sekelumit kisah Eyang Soemini kita bisa melihat gambaran Penyintas bagaimana keluarga mereka dihancurkan, bagaimana teman-teman mereka menghilang tanpa jejak, dan bagaimana mereka sendiri harus menyembunyikan identitas mereka demi keselamatan hidup.
Pelanggaran HAM berat tidak hanya merugikan fisik, tetapi juga merusak jaringan sosial dan kesehatan mental penyintas. Banyak dari mereka mengalami traumatisasi berat yang menghantui sepanjang hidup mereka. Stigma sosial dan ketakutan akan penganiayaan kembali membuat penyintas hidup dalam ketidakpastian konstan. Dalam upaya untuk melanjutkan hidup, mereka sering kali terpaksa menyembunyikan identitas mereka atau mengubah sejarah hidup mereka.
Berpuluh-puluh Tahun Mencari Keadilan
Meskipun puluhan tahun telah berlalu sejak peristiwa 1965, pencarian keadilan masih terus berlanjut hingga saat ini. Penyintas, bersama dengan keluarga korban, berjuang untuk mengungkap kebenaran dan mendapatkan pengakuan atas pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami. Organisasi hak asasi manusia dan kelompok advokasi terus berupaya mendesak pemerintah untuk membuka berkas-berkas terkait dan membawa para pelaku ke pengadilan. Namun, seolah menemui jalan terjal, praktik impunitas terus terjadi.
Masyarakat dan komunitas internasional juga memiliki peran penting dalam mendukung penyintas dan pencarian keadilan. Dengan menggali dan menyebarkan informasi, mereka dapat membantu meningkatkan kesadaran global tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa itu. Tekanan internasional dapat menjadi kunci untuk membuka ruang diskusi dan membangun momentum untuk pencarian keadilan yang berkelanjutan.
Penting untuk memahami bahwa untuk mencegah pengulangan sejarah, pendidikan menjadi kunci. Masyarakat perlu memiliki akses ke informasi yang akurat dan berimbang mengenai peristiwa 1965. Pengadilan yang jujur dan terbuka dapat membantu menyembuhkan luka-luka yang masih terbuka dan memberikan penghargaan kepada para penyintas yang selama ini terpinggirkan.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia harus berani menghadapi bayang-bayang masa lalu dan memahami bahwa pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah langkah penting untuk membangun masyarakat yang adil dan bermartabat. Melalui kisah para penyintas, kita diingatkan akan kemanusiaan yang mendasari setiap keputusan dan tindakan kita. Hanya dengan membuka kebenaran latar belakang peristiwa 1965 dan mendengar suara-suara penyintas, kita dapat berharap untuk menerangi jalan menuju keadilan dan rekonsiliasi.
Sayangnya kita semua harus bertarung dengan waktu, Eyang Soemini meninggal dunia pada tahun 2023, menyusul para penyintas yang terlebih dulu pergi tanpa pernah mendapatkan keadilan hingga akhir hayatnya.
Leave a Reply