Tentang Tutur yang Enggan Tutup: Meneruskan Kisah-Kisah Penyintas Tragedi 1965 Melintasi Zaman
Kemanusiaan itu seperti terang pagi
Rekahkan harapan, menepis kabut gelap
Pagi itu, ketika saya mengetik tulisan ini, seorang kawan sedang memutar lagu Efek Rumah Kaca berjudul Seperti Rahim Ibu. Tepat pada bagian lirik yang saya kutip di atas, saya mendengarkan secara saksama. Kemanusian selalu identik dengan sifat baik manusia. Di tengah dunia yang nampaknya semakin pelik, kejam, dan penuh permasalahan, suatu kata bernama kemanusiaan seolah menyuntikkan harapan bahwa kita bisa melampaui bermacam-macam persoalan.
Sayangnya, tidak semua persoalan benar-benar tuntas, bahkan seolah selalu datang. Ragam “kemalangan” yang terjadi belakangan ini ternyata bisa ditilik hubungannya dengan masa lalu: tidak tuntasnya permasalahan-permasalahan di masa lampau. Saya mengambil satu pokok dalam suatu lingkup spasial di antara bermacam pokok, yaitu terkait hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Kekerasan masih menjadi mainstream di negeri ini. Jika ditarik mundur ke belakang, ternyata pelanggaran HAM masa lampau di Indonesia bisa didakwa sebagai salah satu akar permasalahan.
Dari satu pokok ini, masih bisa diambil satu fragmen, yaitu tragedi 1965. Dalam melihat keseluruhan peristiwa ini, tentu kita semua harus memiliki sikap tenggang rasa dan, sedikit banyak, menghilangkan prasangka kita. Pada saat itu, terjadi banyak kekerasan, penahanan tanpa pengadilan, bahkan pembunuhan yang difasilitasi oleh pemerintahan pada waktu itu. PKI dituduh sebagai dalang dari G30S-1965, ketika tujuh jenderal angkatan darat diculik dan dibunuh. Namun kenyataannya, banyak juga korban justru tidak terlibat dengan PKI. Bahkan, mereka yang tergabung dengan PKI sebagian besar tidak tahu-menahu soal peristiwa G30S.
Korban-korban itu sebagian meninggal atau hilang antara tahun 1965-1967. Jumlah korban tewas ditaksir antara 500.000-1.000.000. Jumlah ini bisa jadi lebih besar lagi. Sementara, terjadi penangkapan tanpa pengadilan yang disertai kekerasan antara 1965-1969. Mereka bisa dibui di daerah masing-masing, atau dibuang ke beberapa tempat. Dua tempat pembuangan yang terkenal adalah Pulau Buru (untuk laki-laki) dan Plantungan, Kendal (untuk perempuan). Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai tahanan politik (tapol).
Setelah bebas, mereka masih mendapatkan stigma dari masyarakat. Bahkan, di KTP mereka terdapat keterangan ET (eks-tapol). Stigma ini membuat hidup mereka menjadi sulit. Dalam situasi ini, mereka harus bertahan dan tangguh dalam menghadapi tekanan dan kesulitan. Mereka yang berhasil bertahan ini kemudian disebut sebagai penyintas (survivor), alih-alih disebut sebagai korban. Dalam terbitan yang kecil ini, anda akan dibawa kepada pengalaman personal para penyintas. Tentu tidak semua kisah penyintas bisa dihadirkan di sini. Lima narasi penyintas di sini hanya sebagian kecil dari banyaknya kisah penyintas tragedi 1965.
Saya tidak bekerja sendirian dalam penelusuran dan pendokumentasian kisah-kisah mereka. Pendokumentasian ini dilakukan oleh empat orang anak muda dari Semarang, termasuk saya, bersama Asia Justice and Rights (AJAR) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Keempat anak muda ini berasal dari berbagai latar belakang: saya, mahasiswa Ilmu Sejarah Undip; Alhilyatuz Zakiyah Fillaily, mahasiswi Hukum Pidana Islam UIN Walisongo dan punya minat pada isu perempuan; Muhammad Sholekan, mahasiswa hukum Unnes dan punya minat pada masalah lingkungan; dan Adiyat Jati Wicaksono, seorang yang aktif di kegiatan-kegiatan kesenian di Semarang.
Di terbitan ini pula, terdapat testimoni-testimoni dari anak-anak muda tentang pandangan mereka terkait HAM, tragedi 1965, dan harapan-harapan atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Dari beberapa pandangan mereka, paling tidak kita bisa memperkirakan, masa depan negeri ini tidak buruk-buruk amat, alias masih ada harapan. Pengetahuan beberapa anak-anak muda terkait kasus-kasus pelanggaran HAM menunjukkan bahwa kisah-kisah itu tidak begitu saja hilang. Kisah-kisah itu menjadi ingatan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dan bukanlah yang memberi arti atas hidup manusia adalah kemampuannya berkisah?
Dengan menggabungkan narasi penyintas dan pendapat generasi muda, seolah kita melihat masa lalu, masa kini, dan harapan di masa depan sekaligus. Pada akhirnya, saya kembali menilik pada lagu Seperti Rahim Ibu, terutama pada dua bagian liriknya yang lain. Pertama, angan-angan bahwa suatu ketika negeri kita bisa lebih berpihak pada yang lemah:
Seandainya negeriku serupa rahim ibu
Merawat kehidupan, menguatkan yang rapuh
Juga, kita dapati penggalan lirik yang menyiratkan semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan tercederainya kemanusiaan:
Niatkan tinju terkepal, pekik menebal
Terjang aral, pagi pasti terkejar
Suatu semangat berjuang untuk suatu utopia yang entah kapan, namun selalu diidamkan oleh banyak manusia: hidup dalam dunia yang adil dan saling menghargai tanpa ada yang terlukai.
Pada akhirnya, perlu disampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan semuanya karena sedikit banyak telah berkontribusi dalam proses ini dari sejak pengumpulan data hingga penulisan terbitan ini. Namun, ucapan terima kasih terbesar dihaturkan kepada tujuh belas penyintas tragedi 1965 yang berkenan membagikan pengalaman hidupnya. Butuh keberanian dan kekuatan untuk membagikan pengalaman-pengalaman yang traumatik. Kami yakin, semua kisah-kisah penyintas penting dan harus disuarakan. Teruslah hidup semangat baik!
Silahkan unduh kisah-kisah yang terdokumentasikan dalam Tutur yang Enggan Tutup
—∗—
This content was produced by bersemai.org. |
![]() |
Leave a Reply