bersemai.org

Eko Sutikno: Hidup dalam Perantauan

Eko, lahir pada tahun 1940 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. Barangkali sebagaimana kebiasaan orang Jawa pada umumnya, sebagai anak pertama, Eko begitu disayang oleh kedua orang tuanya. Dengan tersitanya curahan kasih sayang untuknya, saat SMP Eko memutuskan untuk pergi ke Semarang, agar kedua adiknya mendapatkan bagian kasih sayang melalui ketidakhadirannya. Selesai SMA, Eko kembali berpindah ke Surakarta untuk berkuliah. Selama masa ini, Eko bisa dibilang mendua. Di satu sisi, dia adalah pengagum berat budaya Barat mulai dari gaya, musik, film, dan lain sebagainya. Dia adalah pecandu film Barat dan fans dari Frank Sinatra hingga The Beatles. Namun di sisi lain, Eko adalah seorang Sukarnois. Dia terpikat dengan berbagai simbol, cara pikir, dan tentu saja, pidato-pidato mengagumkan dari sang Bung-Besar. Dengan demikian, ia bersimpati dengan para kaum buruh-tani dan segala tangan kiri terkepal di udara. Kami kerap bergurau, kalau toh Orde Baru tidak ada, Eko akan tetap dipenjarakan pada masa Bung Karno karena musik “ngik-ngok” yang digemarinya itu. Mendengar itu, Eko hanya terkekeh. Suatu ketika, saking penginnya untuk nonton bioskop, Eko menghubungi saya dan berkata kalau ingin sekali menonton bioskop sebagai permintaan terakhirnya. Mendengar itu, saya panik dan membawanya ke bioskop. Tapi Eko bohong, ia tak mati dan itu bukan permintaan terakhirnya.

Belum rampung menyelesaikan studinya, Eko kembali harus mengembara. Kali ini dari satu tahanan ke tahanan lain. Dari Kendal hingga Pulau Buru. Pada tahun-tahun banjir darah itu, paruh kedua tahun 1960-an, salah seorang kawan tertangkap di rumahnya. Satu-satunya jalan agar ia bisa bebas, Eko harus menukarkan dirinya. Dan itulah yang dia lakukan, menjadi tahanan. Eko kerap dihajar habis, tapi Ia melawan. Sebagai ganjarannya, Eko dijebloskan dalam sel isolasi bersama dengan kawan-kawannya yang sekarat. Mati, baginya, adalah sepadan bila didahului dengan perlawanan. Tapi pada sisi yang berlainan – lagi – Eko juga mencurangi kematian: Ia berulang kali diam saja ketika namanya dipanggil untuk dieksekusi, hingga ada orang lain yang tak tahan akan deraan siksaan tahanan memilih untuk menggantikan dirinya.

Akhirnya, setelah berulang kali lolos dari pukulan, setruman listrik, dijatuhi meriam, berbagai pertanyaan serampangan tentang “di mana senjata” dan “rencana pemberontakan”, dan juga dari berbagai pemanggilan eksekusi, Adri 15 menjemputnya. Adri 15 akan membawa Eko ke perantauan selanjutnya; Pulau Buru. Dalam derajat tertentu, Pulau Buru memberikan sedikit kelonggaran dibandingkan dengan berbagai tempat tahanan lainya. Namun hal itu tak lantas membuat hidup Eko menjadi mudah. Terutama pada tahun-tahun awal, Eko dan para tahanan lain tak luput dari penyiksaan dengan tempat tahanan khusus bernama Digoel Kecil. Eko termasuk yang mencicipi Digoel Kecil itu, seperti yang sudah-sudah, karena melawan. Dibandingkan tempat tahanan lain, Buru adalah tempat perantauan paling lama bagi Eko sebagai tahanan. Tak jelas kapan ia bisa pulang. Tak jelas kapan ia bebas.

Tapi di sana pula, takdir menggariskan ia untuk bertemu dengan orang yang begitu dikaguminya setelah Soekarno, Pramoedya Ananta Toer. Mereka kebetulan satu unit di Wanayasa. Entah bagaimana ceritanya, Eko menjadi salah satu orang yang dipercaya oleh sang sastrawan untuk menyimpan, menyelundupkan, dan mewartakan kemajuan dari karya-karya Pram. Ia akan berjalan jauh ke unit-unit lain untuk bercerita hasil dari tulisan Pram. Ia juga, ujarnya, menyembunyikan sebagian kerja Pram di bawah kasur komandan. Kedekatan dengan Pram itu pula yang akhirnya mempertemukannya dengan salah satu cucu Pram di Jakarta beberapa bulan lalu. Malam itu ia senang sekali, dan terkekeh berujar: “Minum! Ini yang membuat umur panjang!”. Kembali, dia bohong.

Barangkali sama beruntung dan anehnya Eko bisa selamat dari kematian, ia juga berhasil menyelundupkan kamera dan alat perekam suara dari Jawa. Kamera itulah, katanya, yang dipergunakan untuk mendokumentasikan berbagai kegiatan di Pulau Buru semenjak tahun 1974. Pram kemudian meminta Eko untuk melakukan sejumlah dokumentasi. Seluruh hasil darinya, kata Eko, diserahkan sepenuhnya kepada Pram. Sebagian dari foto-foto itu, meskipun belum terverifikasi, beserta dengan narasinya adalah apa yang ditampilkan dalam pameran ini. 

Demikian adalah sebagian kisah dari apa yang disampaikan oleh Eko. Dari situ, kita bisa melihat bagaimana Eko bepergian dari satu tempat perantauan ke tempat lain. Setidaknya hingga Desember tahun lalu, Eko kembali merantau lagi untuk terakhir kalinya. Sekilas pula, kita bisa melihat bagaimana pribadi Eko. Namun sekaligus juga sukar rasanya untuk “memotret” Eko dalam satu gambaran khusus secara pasti. Pertanyaannya, apakah deskripsi baku macam itu memang diperlukan terhadap Eko, bahkan dalam tulisan ini? 

Kepada Eko yang mengagumi Soekarno, tapi juga menyukai budaya barat; yang bicara berapi-api soal nasib orang lain, namun tak punya disiplin diri; yang melawan dalam tahanan dan siap mati, namun berulang kali lolos dengan mencuranginya; Eko yang beribu kali berujar “emang gue pikirin” dan seolah tak mempedulikan segalanya, namun beberapa kali berhasil menipu saya untuk menemaninya guna menemui anak dan cucunya, yang rela pergi dari rumah demi adiknya, yang bertaruh nyawa demi membebaskan sang kawan, yang menelepon cuma sekedar untuk menasehati remeh-temeh soal kisah asmara saya; ia yang berkata sudah membunuh perasaannya, namun berulang kali menangis setiap teringat istrinya yang mendahuluinya, yang masih terus bermimpi berkelahi dalam tahanan. 

Mungkin, berbagai ujaran Eko tentang hidupnya ini persis sebagaimana yang ia katakan; bahwa tidak akan ada kata-kata, yang bahkan disusun oleh para pujangga paling besar sekalipun, yang bisa menggambarkan penderitaannya. Untuk itu, mungkin lebih tepat untuk mengatakan bahwa Eko sesungguhnya tidak pernah ingin bebas. Seberat apapun kisah yang dilaluinya, sedari awal Eko sudah dan selalu bebas. Bahkan hingga akhir hidupnya, Eko masih bisa menipu saya. Saya yakin, di sana, ia menertawakan kita semua. Seperti biasa.

Eko, Babe, selamat jalan. 

* Tulisan ini adalah impresi singkat dari apa yang disampaikan oleh Eko kepada penulis dari sekian tahun persahabatan kami. Atas dasar itu, apa yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya subjektif. Dan rilis dalam buklet pameran foto Cerita dari Wanayasa, 2019.

—∗—

This content was produced by bersemai.org.
The grant funding for the project is from the “Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia” Small Grants Program,
an initiative of SEA Junction with support of the CMB Foundation.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *