Kriminalitas Urban hingga Peristiwa Penembakan Misterius
Kaampong Baroetikoeng had gisteravond reeks half acht een vechtpartij plaats, van beide vechtersbazen bekwam daare-nige steekwonden in armen en zijde, ewonde is naar de C. B. Z. overgebracht, ijl de dader is aangehouden en in arrest tid.
Kampung Baroetikoeng semalam perkelahian pukul setengah tujuh, kedua petinju mendapat luka bacok di lengan dan samping, yang luka dibawa ke C.B.Z., pelaku sudah ditangkap dan ditahan saat itu. [Algemeen Handelsblad, 11 oktober 1928].
Semarang tumbuh menjadi kota industrial yang sangat potensial. Di saat bersamaan kota ini menjadi pusat kolonial di Jawa Bagian Tengah. Kolonialisme Belanda mengalami krisis pasca Perang Dunia, berimbas terjadinya perubahan-perubahan sosial-politik di Hindia Belanda yang menjalar pada masalah perekonomian.
Di sisi lain, Semarang–dan tentunya kota-kota serupa lainnya seperti Jakarta dan Surabaya–menjadi ruang pertarungan (hidup) banyak orang dan kepentingan masing-masing, ada yang selaras namun tidak sedikit pula yang bertolak belakang.
Urbanisasi memungkinkan banyak sekali orang-orang dari berbagai latar belakang rasial, sosial, dan kultural untuk bertemu, berkumpul, dan lalu melakukan dialektika-dialektika baru. Kesepakatan yang terjalin kemudian bisa berupa kerja sama, persaingan, konflik, atau bahkan dominasi satu sama lain. Ketimpangan sosial yang terjadi hasil dari pertemuan-pertemuan yang berlangsung menyebabkan masalah-masalah sosial baru yang secara tidak disadari berperan dalam pembentukan identitas kota. Dalam ranah perkotaan masalah sosial ini bisa berupa over-populasi, tingginya tingkat pengangguran dan minimnya lapangan pekerjaan, tidak maksimalnya pelayanan pendidikan dan kesehatan, hingga ekses-ekses lain yang kemudian menyebabkan kriminalitas dan bentrokan antar warga.
Dalam potongan berita di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya perkelahian yang terjadi antar warga kampung-kampung di kota-kota semisal Semarang bukanlah hal yang baru. Perkelahian yang terjadi di Barutikung tahun 1928 adalah hal lumrah saja mengingat Barutikung dan kawasan sekitarnya adalah titik konsentrasi pertemuan banyak orang dari berbagai ras; terutama Jawa, China, dan Arab dalam satu kelas, dan ras Eropa di kelas lain.
Berita di atas bukan merupakan sebuah pembenaran atas stigma kampung gali yang melekat pada Barutikung. Melainkan sebagai upaya untuk memahami bahwa apa yang terjadi hari ini memiliki kaitan sejarah dengan masa lalu. Masalah-masalah sosial yang terjadi di Barutikung yang mengakibatkan perkelahian seperti yang dimuat pada potongan berita koran di atas, jangan-jangan belum juga terselesaikan hingga memicu perkelahian-perkelahian serupa yang bisa terjadi kapan saja sampai hari ini.
Dalam konteks kota-kota pelabuhan—di mana Barutikung adalah salah satunya—memang tidak bisa dipungkiri terjadi semacam segregasi sosial. Orang-orang yang tidak memiliki posisi sosial dan budaya (kere, para migran, buruh harian lepas) akan tinggal di bantaran sungai atau pantai.
+
Kolonialisme tentu satu masalah besar yang kompleks, namun ketika mampu lepas dari belenggu tersebut permasalahan sosial yang ada tetap saja menghantui. Revolusi kemerdekaan yang selalu digambarkan penuh heroisme di sisi lain menimbulkan lubang sosial baru. Kemerdekaan yang digadang-gadang ternyata tak lebih hanya perpindahan kekuasaan dari bangsa asing ke tangan elit-elit Bumiputera, sedangkan rakyat berada dalam posisi kebingunan akan situasi yang tengah berlangsung. Tak heran jika kemudian muncul gejala-gejala masalah sosial, yang jika merujuk Joseph Army Sadhyoko dalam buku Perbanditan di Kota Semarang Pasca Revolusi 1950—1958 (2021) menyebutkan bentuk patologi sosial yang marak muncul pada dekade 1950-an adalah perbanditan. Fenomena ini muncul di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Semarang.
Kasus perbanditan di Kota Semarang yang tercatat pertama kali terjadi pada 16 April 1950. Segerombolan penjahat mencuri sepuluh besek tembakau senilai f 2.000 dari gudang yang berada di kawasan Boom Lama. Setelah diusut oleh Badru, seorang Bintara Keamanan Kelurahan Tambakharjo, seorang pelaku dapat ditangkap beserta barang buktinya, yaitu Karjani yang bermukim di Barutikung. Puncaknya adalah saat Corps Polisi Militer melakukan razia di Barutikung pada pertengahan bulan September 1950.
Menariknya adalah pelaku perbanditan yang terjadi pasca perang kemerdekaan diindikasi sebagai bekas pejuang kemerdekaan yang merasa dikecewakan pemerintah. Harapan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah memperebutkan kedaulatan negara ternyata sia-sia. Situasi sosial-politik yang belum stabil, masalah ekonomi yang tak terselesaikan, dan ketidakmampuan para bekas pejuang untuk beradaptasi menyebabkan mereka harus bertahan hidup dengan melakukan tindakan-tindakan perbanditan.
Pelabuhan Semarang dan pergudangan di sekitarnya memang lokasi yang cocok untuk melakukan perbanditan. Selain karena merupakan pusat penyimpanan barang-barang, daerah antara Stasiun Tawang hingga Pelabuhan—yang kini termasuk kawasan Kelurahan Bandarharjo dan Kuningan—merupakan kawasan yang masih banyak terdapat tanah kosong yang dipenuhi ilalang dan semak belukar yang cocok untuk dijadikan tempat mengintai dan bersembunyi, setidak-nya hingga tahun 1970-an. Selain (mungkin) alasan area ini adalah kawasan pinggiran kota yang cukup jauh dari pengawasan kepolisian.
Dalam tulisan lain berjudul Dari “Kampung Gali” ke “Kampung Santri”: Upaya Perubahan Citra Kampung Baru Tikung Semarang, 1950—2012, Joseph Army Sadhyoko menyebutkan jika circa tahun 1950-an Pemerintah Kota Semarang memberikan rumah singgah sementara untuk para gelandangan—yang diantara juga para pengungsi dan bekas pejuang kemerdekaan—di sekitar Barutikung. Pemilihan lokasi rumah-rumah semi-permanen di antara Stasiun Tawang dan Pelabuhan Semarang ini diharapkan mampu mendekat-kan mereka pada akses terhadap pekerjaan yang lebih baik.
Memasuki dekade 1960-1970-an, banyak pendatang yang kemudian mengklaim dan asal mendirikan rumah di kawasan Barutikung; rumah-rumah dari papan saling berdempetan. Lagi-lagi karena perubahan situasi politik pasca pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru yang berpengaruh pada peraturan dan kebijakan kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat, banyak orang yang harus menghidupi diri dengan melakukan tindakan kriminal. “Dulu tahun 62—63 masuk Barutikung tidak berani karena banyak orang ‘nakal’, mereka itu kebanyakan pendatang. Kalau orang Barutikung tidak ada.” tegas Mbah Jiman.
Periode tahun 1970-an stigma kampung gali sudah melekat pada Barutikung, meski pada kenyataannya lebih banyak warga yang tidak pernah terlibat dengan aksi kriminal tersebut. Guna memperkuat citra sangar pada Kampung Barutikung dan sekitarnya, para ‘gali’ sempat mempopulerkan semboyan Jalma Mara Jalma Mati yang dalam Bahasa Jawa berati: siapa yang datang pasti mati.
Leave a Reply