bersemai.org

Barutikung dan Hal-hal yang Tidak (Ingin) Diketahui – Bagian 4

Luka Kota: Stigma dan Upaya Berdialog

Stigma adalah suatu penanda yang dilekatkan pada manusia (individu atau kelompok) maupun non manusia yang dianggap sebagai gangguan karena memiliki karakteristik yang berbeda dari kebanyakan pada umumnya, biasanya jika berkaitan dengan sifat-sifat yang negatif. Stigma juga bisa merupakan respon atas aksi atau ekspresi yang tidak diinginkan, dianggap menakutkan atau mengganggu. Orang-orang yang memiliki stigma dianggap berbahaya, cacat, atau tidak normal sehingga dapat menciptakan ketidaknyamanan sosial. 

Hari ini, masih dapat kita temui stigma Barutikung yang bersinomin dengan kampung gali. Stigma tersebut bahkan diwarisi oleh generasi yang lahir pasca Reformasi, jauh hari setelah tragedi penembakan misterius menjadi semakin misterius. Pergantian nama kampung menjadi Tikung Baru dan gang-gang ditandai dengan nama-nama biota laut tidak serta-merta menghapus stigma yang kadung diyakini masyarakat luas. 

Stigma buruk yang menghantui seolah-olah semakin dilekatkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Barutikung, mulai dari hal aspek sosial-ekonomi, politik harian, kebudayaan, hingga dalam ranah personal: tragedi percintaan pemuda-pemuda Barutikung, misalnya. Hal-hal diskriminasi dalam ranah sosial, seperti; pelarangan berteman atau pacaran dengan orang yang berasal atau tinggal di Barutikung, kesulitan untuk pengajuan pinjaman atau kredit. 

“Setiap ngobrol sama orang baru ditanya orang mana, kalau di jawab Barutikung langsung itu dikatain ‘wah kampung gali, kampung preman, suka tawuran, suka begal’ begitu” ucap Farid, seorang pemuda Barutikung yang saat ini baru saja menjadi mahasiswa di salah satu universitas mahal di Semarang. Tidak sampai di situ saja, jika sudah mengetahui dari mana asalnya, biasanya si penanya atau lawan bicara lain akan menunjukan gestur atau bahkan reaksi yang terkesan memberi jarak. Kisah tragis juga dialami oleh teman sepermainan Farid, Ryan. Ia diputuskan oleh pacarnya hanya karena bapak si pacar tahu kalau ia berasal dari Barutikung. “Sudah biasa aku sih dapat penolakan begini!”. 

Kota yang di mana separuh identitasnya dimaknai dari ingatan dan pemahaman para penghuninya, idealnya tidak membiarkan suatu luka sosial menganga dan menjadi trauma pada generasi-generasi selanjutkan. Kita dapat menyitir konsep kemiskinan kebudayaan yang diajukan oleh Oscar Lewis untuk dapat memahami yang terjadi di Barutikung. Menurut Lewis, kemiskinan tidak melulu disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, melainkan juga karena adanya nilai-nilai dan pola-pola yang membentuk suatu budaya atau cara hidup tertentu.

Penolakan sosial yang dialamai oleh kawan-kawan muda di Barutikung bisa saja menjadi trauma yang menjerat mereka ke dalam lingkaran setan yang itu-itu saja, alih-alih lepas dari belenggu. Penolakan tersebut menyebabkan perasaan inferior, apatis, pasrah, dan ketergantungan pada orang atau lembaga lain sebagai suatu cara yang dianggap tepat untuk tetap melangsungkan kehidupan sebagai warga kota yang heterogen.

Pada tahun 2016 Pemerintah Kota Semarang melalui inisiatif 100 Resilient Cities yang diprakarsai oleh Rockefeller Foundation menerbitkan SEMARANG TANGGUH — Bergerak Bersama Menuju Semarang Tangguh, sebuah dokumen terkait strategi perencanaan ketahanan kota. Selain berisi identifikasi masalah dan sumber daya, dokumen ini memuat beragam rancangan terkait pemecahan masalah kehidupan perkotaan di Semarang. Meski melihat aspek sosial sebagai salah satu aspek yang perlu bertransformasi, perencanaan ini hanya berfokus pada perubahan secara fisik atau infrastruktur saja.

Sangat disayangkan, lembaga pemerintahan tidak mampu melihat stigma terhadap masyarakat Barutikung sebagai salah satu permasalahan sosial yang harus ditanggapi sebagai bagian kapasitas yang harus dimiliki oleh kota. Karena kota yang tangguh—jika kita mencomot istilah Pemkot—harusnya dibangun tanpa ada ketakukan akan bayang-bayang peminggiran. Karena kota tidak bisa dibangun di atas luka elemen penyusunnya. Padahal perlindungan dan rasa aman masyarakat adalah salah satu janji yang ditawarkan oleh ‘kota yang tangguh’ tersebut.

Pengalaman-pengalaman yang menimpa membuat mereka berpikir ulang tentang eksistensi hingga sebagai manusia dan sebagai warga negara. Memiliki kesadaran tentang apa yang terjadi dengan diri mereka, beberapa anak muda di Barutikung berinisiatif untuk melakukan upaya rehabilitasi melalui beberapa kegiatan yang sifatnya mengajak orang luar guna menengok Barutikung hari ini, Barutikung yang sudah berbenah dan muak dengan stigma yang menimpa mereka. Melalui aktivitas-aktivitas mereka dalam kesenian seperti membuat festival musik, pemutaran film, mural bersama, hingga aktivitas-aktivitas kedermaan seperti Food not Bomb atau Pasar Gratis. Aktivitas tersebut adalah hal-hal yang mungkin mereka lakukan sebagai upaya berdialog dengan orang luar dan membuktikan bahwa stigma yang selama ini orang pikirkan itu tidak tepat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *