‘’Slamet bungkuk, itu juga bukan gali. Dia calo di Pengapon, agen koran, tapi diculik dan dibunuh. Ada pula Alex, dia aktif di gereja, bapaknya pendeta Gereja Masehi di Poncol, juga ikut dibunuh,’’
Peristiwa penembakan misterius atau lebih dikenal dengan istilah Petrus terjadi pada tahun 1982—1985 mengakibatkan terjadinya penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing). Tragedi ini berawal dari permintan Presiden dalam pidatonya pada Maret dan Agustus 1982 untuk mengambil langkah pemberantasan dalam menekan angka kriminalitas dengan melakukan operasi penangkapan orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia—di Jawa Tengah dinamai dengan Operasi Cerah.
Orang-orang yang menjadi target operasi adalah orang yang dianggap pelaku kejahatan (gali, bromocorah, tukang palak, tukang copet, atau para pemuda yang dianggap preman); residivis dan/atau mantan narapidana; dan orang yang diadukan sebagai penjahat. Ciri-ciri yang menonjol dari korban adalah memiliki tato di salah satu bagian tubuhnya—tato saat itu identik dengan kriminalitas. Namun tidak jarang juga korban adalah orang yang benar-benar tidak pernah mempunyai hubungan dengan kehidupan yang melawan hukum, ia menjadi korban semata karena memiliki nama yang sama dengan orang yang menjadi target; salah target.
Sebelum dieksekusi beberapa korban dijemput oleh orang yang tidak dikenal (diduga polisi atau tentara), beberapa lainnya dijebak oleh teman mereka sendiri. Menurut beberapa kesaksian mereka ada yang dijemput di rumah dan ada yang dijemput di tempat umum, dengan atau tanpa kekerasan. Meski belum jelas diketahui bagaimana proses pembunuhan itu terjadi, menurut saksi petugas forensik mayat-mayat yang diperiksa terkait penemuaan mayat circa tahun 1982—1985 memiliki lebih dari satu luka tembak. Dan banyak di antaranya memiliki luka bekas penyiksaan seperti bekas jeratan di leher, luka bakar pada kelamin, telapak tangan gosong, lebam pada pipi dan dahi, dan bekas penyiksaan fisik lainnya.
Mayat-mayat mengenaskan tersebut ditemukan dalam keadaan telanjang, mata tertutup, mulut tersumbat, penuh luka bersimbah darah dalam karung atau dibungkus tikar. ‘Paket misterius’ tersebut kemudian diletakkan di tempat-tempat umum saat kondisi sepi atau malam hari, dilengkapi dengan alamat dan uang untuk pengurusan jenazah.
Teknik pengembalian korban seperti ini menurut Presiden Soeharto sendiri sebagai cara untuk memberikan shock therapy bahwa tindakan kejahatan masih dapat ditindak dan diatasi. Beberapa lain yang jasadnya tidak pernah ‘dipulangkan’ dibuang di jurang atau hutan-hutan di area Gunung Pati, Mijen, Pedurungan, dalam beberapa kasus ada mayat juga ditemukan di belantara Blora atau Batang.
Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM jumlah korban dalam peristiwa ini belum dapat diketahui secara pasti. Pengungkapan kasus ini juga masih belum menemukan penyelesaian yang jelas. Dalam Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Petrus 1982—1985 berbagai hambatan dialami oleh tim saat menjalankan tugas penyelidikan, di antaranya penolakan Purnawirawan TNI maupun Polri dalam memberikan keterangan, dan adanya tindakan intimidasi terhadap korban yang akan memberikan keterangan.
Di luar proses hukum yang masih belum dapat diketahui titik terangnya, masih banyak keluarga korban yang mengalami duka dan trauma atas peristiwa penembakan mesterius tersebut. Sedangkan bagi warga Kampung Barutikung, Tragedi Petrus menjadi titik balik tersendiri dalam kehidupan sosial. Dalam ingatan Eko setidaknya ada lebih dari lima orang korban Petrus dari Barutikung. Mereka dieksekusi di area Barutikung dan ada yang diculik. Soni menjelaskan lokasi yang pernah digunakan sebagai tempat penculikan yakni di depan Gudang Marabunta (kini Jl. Komondor Laut Yos Sudarso) karena letaknya yang dekat dengan akses utama raya utama.
Tragedi penembakan misterius di mana beberapa korban berasal dari Barutikung memang masih menjadi polemik hingga kini. Berberapa warga memang mendukung upaya tindakan tersebut guna menanggulangi kriminalitas yang kian meresahkan. Namun menurut beberapa lainnya, tragedi penembakan misterius menimbulkan trauma tersendiri yang menghantui hingga hari ini, terutama keluarga yang menjadi korban. Ada perasaan marah, benci, sakit hati, tapi juga tidak tahu harus dilampiaskan ke mana. Luka-luka itulah yang hari ini membentuk sebagian wajah Barutikung.
Leave a Reply